Selasa, 13 Maret 2012


MASJID-MASJID BERSEJARAH

Masjid Jami Al-Atiq (1500-an)
Kampung Melayu Besar, Tebet, Jakarta Selatan
Bertahun-tahun dibui, tahun 1890 Pitung dan Ji'ih akhirnya berhasil kabur dari penjara Meester Cornelis. Mereka berdua melarikan diri sambil menyusuri Kali Ciliwung. Karena kelelahan terus menerus dikejar Opas Belanda, dua sahabat itu bersembunyi di sebuah masjid pinggiran kali. Beruntung, ulama dan jamaah masjid----yang tahu ada berita santer pelarian pribumi dari penjara Mester, menyembunyikan mereka di dalam masjid. Pitung dan Ji'ih mujur, rupanya masyarakat seputar masjid tahu reputasi jagoan dari Marunda itu. Jadi 'ngumpet' berbulan-bulan di masjid tak jadi masalah bagi mereka berdua dan jamaah masjid.
Itulah sepenggal kisah heroik yang menyertai keberadaan Masjid Jami Al Atiq, di Jalan Masjid I Rt.003 Rw.01, Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan. Begitu banyak kisah sejarah dan mistis yang disimpan masjid ini, rupanya tidak membuat Masjid Al Atiq berpenampilan cantik. Kini sosoknya tak ubahnya seorang lelaki tua renta tak terurus yang ditinggalkan sanak-saudara. Berbagai dokumen dan peninggalan bersejarah banyak yang raib tak jelas.Lebih-lebih setelah masjid ini terkena dan dijadikan tempat penampungan masyarakat korban banjir tahun 1996 lalu. Sebagian besar material kini telah berganti dengan beton, walau disebutkan arsitekturnya tidak berubah. Sisa-sisa masa lalu itu, bisa dilihat pada sebagian pintu berdaun dua dan berpatri timah serta sederetan jendela kaca di bagian atas sebelah barat.
Disebutkan masjid ini dibangun sekitar awal tahun 1500-an. Dan tak banyak yang tahu kalau Masjid Al Atiq sebenarnya adalah peninggalan Sultan Banten I, Kesultanan Banten Lama, Sultan Maulana Hasanuddin. Masjid ini dibangun ketika putra dari Sunan Gunung Jati alias Syarif Hidayatullah itu melakukan kunjungan ke Batavia. Jadi masjid ini dibangun ketika masa Walisongo berkiprah di wilayah Jawa. Maka tak heran jika arsitektur masjid memiliki kemiripan dengan standar arsitektur masjid yang dibangun oleh para wali.
Atapnya yang berbentuk prisma bersusun tiga, mengingatkan pada arsitektur masjid di Demak, Gresik dan masjid-masjid lainnya sekitar Jawa Tengah. Pembangunan Masjid Al Atiq diduga berbarengan dengan pembangunan masjid yang ada di Banten dan daerah Karang Ampel, Jawa Tengah. Dua masjid yang juga dibangun karena peran Sultan Maulana Hasanuddin.
Sekitar awal tahun 1619, ketika Pangeran Jayakarta dan pasukannya hendak menuju pusat kota Batavia menyusuri Kali Ciliwung, Masjid Al Atiq dahulu berada dalam keadaan menyedihkan. Tidak terpelihara dan nyaris roboh. Sebelum meneruskan perjalanan dikisahkan rombongan itu singgah dan memperbaiki wujud masjid serta menetap beberapa lama di wilayah itu yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai pengusaha sado. Maka tak heran awalnya masjid ini disebut dengan Masjid Kandang Kuda.
Tidak cuma sebagai saksi bisu singgahnya tokoh-tokoh bersejarah, Masjid Al Atiq banyak juga menyimpan dongeng-dongeng mistis. Misalnya, tentang ampuhnya tongkat khatib di mimbar masjid. Alkisah pernah suatu ketika ada seorang yang disembuhkan penyakitnya lewat ramuan dari serpihan kayu pada tongkat itu. Sekarang satu-satunya benda pusaka yang masih tersisa ya tongkat itu. Tapi tentunya, Anda sekarang tidak bisa sembarangan menyentuh tongkat itu . Kalau hanya sekedar ingin melongok, dan membayangkan dimana Si Pitung dan Ji'ih bersembunyi, Terminal Bus Kampung Melayu dan Stasiun KA Jabotabek Tebet rasanya bisa dijadikan alternatif menuju ke tempat itu.n


MASJID-MASJID BERSEJARAH
Masjid "Si Pitung" Al-Alam (1600-an)
Marunda, Jakarta Utara
Jika Anda penggila kisah-kisah jampang Betawi tempo dulu, rasanya belum pas kalau belum menengok Masjid Al Alam atau lebih kesohor disebut Masjid Si Pitung ini. Bayangkanlah, sebelum menjadi "Robin Hood" Betawi, Pitung kecil disebutkan banyak menghabiskan waktu bermainnya di masjid ini.Belajar agama, belajar 'pukulan' sampai sembunyi dari opas dan
kompeni, juga di masjid ini. Tapi jangan salah, bukan Si Pitung atau keluarganya yang membangun masjid ini. Masjid yang terletak persis di tepi Pantai Marunda Pulau, Kelurahan Cilincing ini diperkirakan dibangun pada tahun 1600-an. Meski telah berusia 400 tahun, uniknya masjid ini cukup terawat dengan baik walau kondisi ketuaannya tak bisa disembunyikan. Arsitekturnya mengingatkan pada model Masjid Demak, namun berskala lebih mini-ukuran 10x10 m2. Atapnya yang berbentuk joglo ditopang oleh 4 pilar bulat "kuntet," seperti kaki bidak catur. Mihrab---pas dengan ukuran badan menjorok kedalam tembok, berada di sebelah kanan mimbar. Berbeda dengan masjid tua lain, uniknya masjid ini berplafon setinggi 2 meter dari lantai dalam.
Terpeliharanya Masjid Al Alam tak lepas dari bentuknya yang relatif kecil menyerupai mushola. Selain itu, hingga kini pun masjid ini begitu amat dicintai oleh penduduk sekitarnya. Hampir di setiap waktu-waktu sholat-terutama maghrib, dan 'isya, Masjid Al Alam selalu diramaikan jamaahnya. Bukan Cuma itu, kelihatannya masjid ini sering didatangi para peziarah pula. Hal ini terlihat dengan dibangunnya sebuah pendopo persis di belakang masjid, sebelah timur. Yang terkesan sengaja dihadirkan untuk upacara-upacara khusus.
Tidak diketahui pasti siapa pendiri masjid ini, minimnya data sama halnya dengan ketidaktahuan masyarakat sekitar masjid. Bahkan tokoh masyarakat di sekitar rumah tinggal Si Pitung sekalipun. Yang diketahui oleh H.Atit, salah seorang pengurus masjid, bahwa orang-orang sekitar menyebut masjid ini dengan sebutan Masjid Gaib. Dari dongeng turun-temurun, disebutkan dalam proses pembuatannya dahulu, masjid ini dibangun hanya dalam tempo sehari semalam saja. Tapi ditambahkan oleh H. Atit, hal itu dimungkinkan, karena sebelum masjid ini ada, pasukan dan rombongan Pangeran Fatahillah datang ke Marunda sesaat setelah menang perang dengan Portugis di Sunda Kelapa.
Sejak tahun 1975 Masjid Al Alam dinyatakan sebagai cagar budaya. Pemda DKI Jakarta rajin menyokong setiap upaya untuk melestarikan masjid ini. Di sekeliling masjid sekarang sudah dibuatkan pagar beton, berbentuk seperti pagar batas provinsi. Untuk menjangkau masjid, dari Tanjung Priok ada angkutan umum yang menuju ke Pasar Cilincing. Dan dari pasar Cilincing, pengunjung mesti berganti angkutan yang menuju ke arah Marunda. Dapat pula dipilih Angkot jurusan Bulak Turi, yang melintas ke jalan masuk wilayah perkampungan Marunda.



Masjid Jami As-Salafiyah (1620)
Jatinegara Kaum, Jakarta Timur
Sekitar bulan Mei tahun 1619 di daerah Mangga Dua, pasukan Pangeran Jayawikarta---selanjutnya lebih dikenal dengan Jayakarta, berhadap-hadapan dengan tentara Pemerintah Hindia Belanda pimpinan Gubernur Jenderal Jan Pietersen Coen. Pertempuran sengit terjadi, dan pasukan Pangeran Jayakarta terdesak.
Pasukan Belanda mengepung dari arah Senen, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Tanjung Priok. Karena terjepit Pangeran Jayakarta dan pasukannya bergerak mundur ke timur hingga daerah Sunter, lalu ke selatan. Sambil terus bergerak ke selatan, ketika itu Pangeran Jayakarta membuang jubahnya ke sebuah sumur tua.
Mengira Pangeran Jayakarta telah tewas kedalam sumur tua itu, Pasukan Belanda menghentikan pengejaran dan menimbun sumur itu dengan tanah. Melihat situasi yang tidak memungkinkan untuk kembali, Pangeran Jayakarta dan sisa pengikutnya meneruskan perjalanan terus ke selatan. Sampailah mereka ke sebuah hutan jati yang lebat. Untuk sementara mereka beristirahat di tepi Kali Sunter yang membelah hutan itu yang kemudian dikenal masih bagian dari daerah Jatinegara.
Seterusnya Pangeran Jayakarta dan pengikutnya menetap dan membangun perkampungan baru di tempat itu. Perkampungan berkembang dengan kehadiran kaum pendatang lainnya. Dikisahkan, karena di tempat itu masih banyak hutan jati maka sumber ekonomi masyarakatnya mengandalkan diri dari kerajinan kayu jati. Inilah mungkin mengapa daerah Klender-berdekatan dengan Jatinegara Kaum, dikenal sebagai pusat industri furnitur hingga kini.
Mulai tahun 1620, Pangeran Jayakarta membangun sebuah masjid yang lokasinya berdekatan dengan Kali Sunter. Dahulu sebelum bernama Masjid As-Salafiyah, masjid ini dikenal dengan sebutan Masjid Pangeran Jayakarta. Dalam perkembangannya, masjid ini rupanya digunakan oleh Pangeran Jayakarta untuk menggalang kekuatan kembali. Berpuluh-puluh tokoh masyarakat dan jawara serta ulama seringkali berkumpul di masjid ini menyusun strategi perjuangan dan dakwah Islam.
Tahun 1700 Pangeran Sugeri, putera Sultan Fatah dari Banten, memugar masjid ini. Sebelumnya bersama-sama dengan Pangeran Jayakarta, Sugeri dan Fatah yang terbuang dari Kesultanan Banten ini---karena Sultan Haji saudara Sultan Fatah melakukan kup dibantu Belanda, berjuang melawan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Pangeran Jayakarta dan Pangeran Sugeri kemudian dimakamkan di komplek masjid bertiang penyangga jati ini.
Tercatat beberapa peninggalan sejarah masjid ini hilang tak ketahuan rimbanya. Yang tersisa hanya empat tiang penyangga dan sebuah kaligrafi Arab berbentuuk sarang tawon di dalam plafon menara masjid. Seperti nasib masjid tua lainnya, As Salafiyah sekarang lebih terlihat lapang. Penampilannya pun terkesan mewah dengan keramik dan marmer menutupi hampir seluruh temboknya. Persis sama dengan masjid-masjid seumurnya, tampaknya ukuran asli As Salafiyah hanya seluas empat pilar dengan selasar sepanjang 5 meter di setiap sisinya---separuh bagian barat bangunan. Dan inilah masjid tua yang paling banyak memiliki makam di sisi selatan, barat, dan utara.
Mudah saja memilih angkutan untuk menuju ke Masjid As-Salafiyah. Terminal Pulogadung atau Pasar Klender adalah terminal yang terdekat dengan masjid. Dari Senen ada MetroMini T-47, dari Kampung Rambutan ada Patas 98, dari Rawamangun ada Angkot T-26, dan dari Kampung Melayu ada Kopaja T-501. Silahkan pilih, Anda mau darimana ?
MASJID-MASJID BERSEJARAH
Masjid Jami An-Nawier (1700-an)
Pekojan, Jakarta Utara
Pekojan. Asal katanya dari kata Koja, adalah kain tenun yang dipakai untuk ikat kepala oleh orang-orang Banten atau Badui; atau juga berarti orang India (Khoja). Di daearah Jawa Tengah, di Semarang misalnya, ada sebuah kampung yang disebut dengan Kampung Pekojan.
Kampung ini katanya dominan dimukimi oleh orang-orang keturunan India. Tapi entah apakah itu punya arti sama dengan Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora di Jakarta Utara, yang tempo dulu disebut sebagai Kampung Pekojan juga.
Namun untuk memperkuat sebutan itu ada bukti yang dapat dijadikan cara untuk memperkuat dugaan itu. Salah satu masjid tua di daerah itu-didirikan tahun tahun 1700-an, Masjid Jami An-Nawier namanya, menunjukkan gelagat kesana. Hingga sekarang masjid yang didirikan oleh seorang ulama yang biasa dipanggil sebagai Komandan Dahlan, sering diziarahi oleh para ulama maupun masyarakat biasa dari daerah Banten.
Jika dikaitkan dengan ikat kepala, boleh jadi ada hubungannya pula. Mungkin saja, Komandan Dahlan atau pendiri lainnya adalah mantan prajurit Kesultanan Banten yang ikut membantu Fatahillah menyerang penjajah di Sunda Kelapa. Lalu setelah itu bermukim di sebuah wilayah di selatan Pelabuhan Sunda Kelapa, dan beranak-pinak di wilayah itu. Mungkin karena tradisi berpakaian orang Banten dahulu seperti orang-orang dari Badui sekarang---gemar menutupi kepalanya dengan ikatan kain tenun, maka daerah itu disebut sebagai Pekojan. Sama halnya dengan daerah Matraman, tempat mukimnya orang-orang Mataram.
Makam Komandan Dahlan kini bisa dilihat di sebelah utara masjid yang dikelilingi batu pahatan besar buatan abad 18. Di sekitar masjid pun ada beberapa makam-makam tua para ulama besar Kampung Pekojan. Konon Masjid Jami Pekojan ini dahulunya menjadi induk dari masjid-masjid sekitar Batavia. Dahulu setiap hari Jum'at dihadiri lebih dari 2.000 jamaah. Peninggalan sejarah masjid ini tak hanya makam, mimbar berukir di mihrab masjid adalah pemberian dari salah seorang Sultan Pontianak pada awal berdirinya masjid di abad ke 18.
Sampai kini Masjid Jami An-Nawier telah mengalami beberapa kali pemugaran. Terutama pada bagian interior masjid, bagian list-plangnya yang bermotif gunungan dan sayap kelelawar, serta menara masjid yang menjadi satu bagian dengan bangunan masjid. Jika diamati betul, ada kesan kalau masjid ini bukan bangunan yang diniatkan sebagai masjid. Ruangan dalam masjid berbentuk leter-L. Lalu untuk menopang atapnya yang berjumlah dua memanjang dari utara ke selatan ada 33 buah pilar model romawi. Lalu di sebelah kanan bagian mihrab, terdapat semacam pos jaga monyet. Belum lagi model pagar temboknya yang tinggi dan tebal, lalu model list-plang yang juga mirip dengan bangunan Belanda pada umumnya. Ada kesan kuat masjid ini sebelumnya, bisa jadi sebuah benteng atau masjid yang sengaja dibuat dan diapakai sebagai benteng.
Masjid An Nawier Pekojan berada di Jalan Masjid Pekojan Gg. II, Kelurahan Pekojan, sebelah barat Stasiun KA Kota. Agak sulit juga mencari lokasinya, karena di kiri dan kanan serta belakang masjid terjepit pemukiman penduduk sekitar Jalan Pengukiran. Tapi yang jelas tidak sulit memilih sarana transportasi. Terminal Grogol dan Kota bisa dipilih untuk menilik masjid yang juga berdekatan lokasinya dengan Masjid Al Anwar di Jalan Pangeran Tubagus Angke ini.

MASJID-MASJID BERSEJARAH
Masjid Jami Al - Makmur (1704)
Kebon Kacang, Jakarta Pusat
Perang antara Kerajaan Mataram, pimpinan Sultan Agung melawan VOC dibawah komando Jenderal Jan Pietersen Coen memperebutkan Batavia (1613-1645), ternyata banyak membawa hikmah. Meski kocar-kacir kalah hingga dua kali, banyak dari eks tentara Mataram memilih untuk menetap di Batavia membuka daerah-daerah baru di sekitar pusat kota.
Bahkan sudah menjadi rahasia sejarah, sedikit banyak, orang-orang Mataram ini memberi pengaruh pula pada pembentukan budaya awal masyarakat Betawi. Mulai dari struktur bahasa, adat istiadat, pakaian sampai nama-nama tempat di sekitar Betawi tempo dulu.
Lalu selain ditularkan lewat saudagar Arab, perkembangan Islam di Batavia ditradisikan juga oleh orang-orang dari Mataram ini. Salah seorang bangsawan keturunan Kerajaan Mataram yang tercecer dari perang itu, diantaranya adalah Raden Kartobuso yang menurunkan anak bernama KH. Muhammad Asyuro. Muhammad Asyuro yang telah berhaji itu kemudian memilih wilayah Tanah Abang sebagai tempat mukimnya yang baru. Seolah sudah menjadi pakem baku, setiap pemukiman yang dibangun oleh kalangan Mataram pasti dilengkapi juga dengan sarana ibadah.
Masjid Al Makmur sekarang----persis bersebelahan dengan Pasar Tanah Abang, bercikal bakal dari sebuah langgar/mushola yang dibangun oleh KH. Muhammad Asyuro tahun 1704 masehi. Keberadaan langgar ini terus berlanjut sampai ke generasi KH. Muhammad Asyuro berikutnya. Kedua anak KH Muhammad Asyuro, KH. Abdul Murod Asyuro dan KH. Abdul Somad Asyuro tercatat menjadi penerus dakwah ayah mereka hingga masuk ke abad 20.
Dengan semakin berkembangnya perkampungan dan bertambahnya jumlah penduduk sekitar langgar, keberadaan langgar itu dirasa tidak representatif lagi menampung jamaah yang semakin bertambah. Atas inisiatif tokoh masyarakat Tanah Abang keturunan Arab, Abu bakar bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Habsyi, tahun 1915 langgar diubah menjadi masjid besar. Masjid yang dibangun di atas tanah wakaf-1.142 m2, milik Abu Bakar itu kemudian diberi nama Al Makmur.
Tahun 1932 masjid ini diperluas hingga ke arah utara seluas 508 m2. Perluasan di atas tanah wakaf Salim Bin Muhammad bin Thalib itu kemudian ditambah lagi dengan sebidang tanah milik masjid di bagian belakang seluas 525 m2 di tahun 1953. Jadi luas total masjid ini tercatat memakan lahan sebesar 2.175 m2. Tapi jangan heran jika kita melongok Masjid Al Makmur yang terletak di Jalan KH Mas Mansyur 6 sekarang, sosoknya terlihat tidak begitu istimewa. Tergeser oleh hiruk-pikuk pasar yang ruwet, dengan pemandangan kaki lima yang tumpah ke jalan, masjid ini seperti kehilangan karisma sebagai masjid tua.
Akibat pengembangan jalan, kini Masjid Al Makmur hanya menyisakan (habis) beranda depan dengan tiga gerbang berpilar ramping berbentuk kelopak melati dan list-plang dengan lima lubang angin serta dua menara berkubah kecil bergaya mercusuar (dengan jendela dan teras) di kiri kanan bangunan utama. Sementara, kadang-kadang pedagang kaki lima dengan enaknya menjajakan dagangannya di muka masjid. Jadi lengkap sudah kesendirian Masjid Al Makmur.
Lokasi masjid yang berada di salah satu pusat perbelanjaan terbesar Jakarta ini sangat memudahkan dijangkau dari arah manapun. Dari Bendungan Hilir ada bemo atau angkutan kota yang menuju ke arah masjid ini. Demikian juga jika daerah Harmoni yang dipilih sebagai alternatif untuk menuju ke lokasi Masjid Al Makmur. Atau dari Jalan MH Thamrin maupun Sudirman, pilih saja bus kota ke arah Tanah Abang.

Masjid Al-Mansur (1717)
Sawah Lio, Jembatan Lima, Jakarta Barat
Konon sebelum diberi nama Al Mansur, pembangunan masjid ini dirintis oleh seseorang dari Kerajaan Mataram bernama Abdul Malik. Abdul Malik adalah putra dari Pangeran Cakrajaya, yang sebelumnya bergabung dengan Tentara Mataram berperang di Batavia.
Tahun 1717 masehi tercatat sebagai tahun pembangunan masjid bermenara setinggi 50 meter, berkubah seperti topi baja kompeni, dan berjendela di sepanjang batang menaranya ini.
Tak ada catatan resmi, diberi nama apa masjid dengan atap seperti rumah biasa ini. Namun yang pasti seperti diakui oleh masyarakat sekitar daerah Kampung Sawah Lio, Tambora, alur sejarah masjid Al Mansur diyakini seperti itu adanya. Hingga dua abad kemudian kegiatan dakwah tetap diteruskan oleh keturunan Abdul Malik, seperti Imam Muhammad Habib, dan ulama-ulama perantau seperti Imam Muhammad Arsyad Banjarmasin, pengarang kitab Sabilil Muhtadin.
Imam Muhammad Arsyad Banjarmasin inilah yang kemudian memperbaiki letak mihrab masjid. Pembentulan arah kiblat itu diakukan bersama-sama dengan sejumlah ulama lokal pada 2 Rabiul Akhir 1181 H tau l1 Agustus 1767 M. Dua abad berikutnya, tanggal 25 Sya'ban 1356 H / 1937 M dibawah pimpinan KH. Muhammad Mansyur bin H.Imam Muhammad Damiri diadakan perluasan bangunan masjid. Berturut kemudian, untuk menjaga terpeliharanya tempat suci serta makam-makam para ulama (di depan kiblat), maka di sekitar masjid dibuatkan pagar tembok (sekarang berpagar besi).
Tahun '60-an adalah kali kedua masjid di Jalan Sawah Lio ini dipugar. Hasilnya seperti yang terlihat sekarang. Merapat dengan jalan di selatan, di bagian utara dan timur berdempetan dengan pemukiman. Seperti Masjid Al-Alam, Al-Anwar dan As-Salafiyah, bangunan asli masjid ini berukuran 10x10 m2 ----bekasnya adalah bagian terendah di dalam masjid. Arsitekturnya pun tak jauh berbeda dengan model-model masjid masa itu. Beratap joglo dua tingkat dan ditopang empat pilar besar berdiameter 1,5 meter. Jendelanya hanya sebuah lobang segi empat berteralis kayu profil gada pada setiap sisi tembok. Model pintunya, berdaun dua dengan profil pahatan berlian. Kini , tembok, jendela dan pintu di semua sisinya dimajukan sejauh 10 meter.
Di masa awal setelah proklamasi kemerdekaan, masjid ini digunakan sebagai tempat mobilisasi pejuang sekitar Tambora, pimpinan KH. Muhammad Mansur. Sebuah pertempuran frontal dikisahkan pernah terjadi di muka masjid. Terjadi baku tembak antara pejuang RI yang berlindung di masjid dengan tentara NICA yang kala itu masuk dari Pelabuhan Sunda Kelapa bergeser ke selatan menuju daerah Kota lalu menyebar ke sekitar Tambora.
Baku tembak itu dipicu oleh tindakan berani KH. Mohammad Mansur yang mengibarkan bendera Merah Putih di atas kubah menara masjid. Sesudah peristiwa tersebut KH. Muhammad Mansur lalu dipanggil ke HofdBureau (Polsek) untuk diadili dan ditahan atas perbuatannya itu. Karena keaktifan Muhammad Mansur memimpin perjuangan dan pergerakan melawan Belanda, pemerintah memberi kehormatan dengan memberi nama masjid bersejarah itu Masjid Jami Al Mansur.
Dan nama beliau pun diabadikan untuk nama jalan persis di muka Jalan Sawah Lio II, Kelurahan Jembatan Lima. Tanggal 12 Mei 1967 KH. Muhammad Mansur wafat, dan kepengurusan masjid dekat Stasiun KA Angke dan Pasar Jembatan Lima ini dilanjutkan oleh Badan Panitia Kepengurusan Masjid Jami Al Mansur hingga sekarang.


Masjid Angke Al-Anwar (1761)
Angke, Jakarta Barat
Ketika bahu membahu membantu pasukan Pangeran Fatahillah menggempur VOC di Pelabuhan Sunda Kelapa, sama halnya dengan orang-orang Mataram sebelumnya, orang-orang dari Kasultanan Banten pun memilih menetap di Batavia.
Salah seorang yang tidak bisa lepas dari peristiwa itu, adalah nama Tubagus Angke.
Seorang bangsawan Banten bergelar pangeran yang kemudian wafat di Batavia. Dan keberadaan masjid yang dahulu disebut Masjid Angke saja ini tak terlepas dari keberadaan Tubagus Angke.
Walaupun berukuran kecil--15x15 m2 berdiri di atas lahan 200 m2, tapi masjid ini adalah salah satu masjid bersejarah yang dilindungi oleh UU Monumen (Monumen Ordonantie Stbl) No.238 tahun 1931, juga diperkuat oleh SK Gubernur KDKI Jakarta tanggal 10 Januari 1972. Bangunannya cukup menarik karena memperlihatkan perpaduan dari berbagai gaya arsitektur. Ada gaya Banten kuno dan Cina, juga pengaruh Hindu.
Atapnya berbentuk cungkup bersusun dua model arsitektur khas Cina, dengan ujung cungkup (nok) berbentuk kuncup melati---tertempel bekas horn sirine kecil. Bentuk jurai/sopi-sopi di masing-masing atapnya membengkok di bagian ujung bawah. Dan di keempat ujung jurai-nya, bercuping seperti bunga terompet. Bentuk list-plang kayunya bermotif ombak dengan bonggol kuncup melati terbalik di setiap sudutnya. Sedang model kusen pintu--berdaun dua, seperti lumpang terbalik bermotif ukir-ukiran di bagian bawah dan atas pintu.
Di halaman belakang masjid ini terdapat beberapa makam. Diantaranya adalah makam dengan nisan bertuliskan Syekh Ja'far--tidak diketahui asal-usulnya. Disebelahnya terletak juga 3 buah cungkup dengan nisan bertuliskan huruf Cina. Tapi ada satu makam yang cukup jelas menunjukkan tentang sosok seorang yang dikuburkan di situ. Makam itu milik almarhum Syekh Syarif Hamid Al Qadri (di timur masjid), yang dikenal sebagai pangeran dari Kesultanan Pontianak, Kalimantan Barat. Tahun 1800-an, beliau ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Batavia, hingga kemudian wafat di Batavia. Tertulis pada nisannya, "meninggal dalam usia 64 tahun 35 hari pada tahun 1274 H atau 1854 masehi.
Seorang ahli sejarah berkebangsaan Belanda yang mengadakan penelitian tentang masjid ini, DR. F.Dehaan, dalam bukunya "Oud Batavia" menuliskan bahwa Masjid Angke Al Anwar didirikan pada hari Kamis 26 Sya'ban 1174 atau 2 April 1761. Dehaan juga menulis bahwa konon masjid ini didirikan oleh seorang wanita Cina dari suku Tarta yang menikah dengan seorang pria Banten. Kisah itu didapatkan oleh Dehaan melalui cerita dari mulut ke mulut penduduk sekitar Angke ketika itu.
Seperti halnya masjid-masjid yang didirikan pada masa perjuangan, masjid ini pun dijadikan sebagai basis perjuangan masyarakat sekitar masjid setelah proklamasi kemerdekaan. Aksi perjuangan itu terutama dipelopori oleh para ulama Angke, yang mengobarkan semangat kepada para pemuda Angke. Rapat-rapat rahasia yang sering dilakukan di masjid itu tak pernah tercium oleh pihak Belanda. Sehingga dalam perkembangannya, bangunan Masjid Angke Al Anwar tidak sedikitpun tergores oleh peluru Belanda, tidak seperti Masjid Al Mansur di Sawah Lio.
Tapi sayang mungkin karena lebih mengutamakan fungsinya, penambahan-penambahan sarana di pelatarannya membuat masjid terlihat kumuh. Bagian dalam pun demikian, jauh dari kesan bersih. Banyak tukang air yang bertiduran di dalam masjid----di luar pagar adalah hidran PAM untuk umum. Keberadaannya yang berada disekeliling pemukiman padat model MHT, menguatkan kesan seperti tersembunyi dibalik hiruk-pikuk aktivitas masyarakat sekitar.
Masjid Angke Al Anwar persisnya terletak di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Gang Masjid I Rt. 001 Rw. 05, Kelurahan Angke. Dari Terminal Bus Grogol ada beberapa angkutan yang bisa mengantar ke lokasi. Carilah angkutan ke arah Pluit atau Jembatan Tiga. Lalu turun di Fly-Over Jembatan Dua, Jalan DR. Latumeten. Lebih dekat lagi jika menggunakan KA Jabotabek, turun saja di Stasiun Angke.


Masjid Jami Al-Islam (1770)
Petamburan, Jakarta Pusat
Daearah Tanah Abang zaman baheula dan sekarang tak jauh berbeda. Dilihat dari komposisi penduduk maupun aktivitas perekonomiannya sama sekali tak berubah jauh. Sejak awal abad ke 17 hingga sekarang, di Tanah Abang berkumpul masyarakat dari berbagai macam suku dan bangsa. Ada Arab, Cina, India, Jawa bahkan pendatang dari Borneo, dan Sumatra.
Di tempat inilah kemudian terjadi kawin campur dan akulturasi serta interaksi sosial dengan segala plus-minusnya.
Sedang dari segi aktivitas ekonomi, juga tak ada perubahan. Cap sebagai pusat perdagangan tetap melekat sampai sekarang. Alkisah pada akhir abad ke 18 masehi, datanglah seorang bangsawan ulama dari wilayah Minangkabau, Sumatra Barat. Ia bergelar Sultan Raja Burhanuddin Syekh Al-Masri. Kedatangannya ke daerah Tanah Abang dimaksudkan untuk sekedar melongok pusat perdagangan di Batavia yang kesohor hingga ke Minang itu. Sultan Raja Burhanuddin ingin menyaksikan sendiri, mengapa pasar itu mampu menyedot minat pedagang-pedagang dari kampungnya.
Disebutkan, perjalanan Sultan Raja Burhanuddin yang semula adalah 'plesiran' biasa berubah menjadi perjalanan bermisi dakwah. Dari pengamatannya sekilas atas aktivitas orang-orang Minang di Pasar Tanah Abang, Sultan Raja Burhanuddin menyimpulkan bahwa para pedagang dari kampungnya saat itu jauh dari agama. Mereka, karena kesibukan dagangnya, seringkali lupa menunaikan sholat dan tak pernah tersentuh dakwah. Letak masjid yang cukup jauh dari pasar, membuat mereka enggan datang ke masjid.
Sejak itu Sultan Raja Burhanuddin langsung berinisiatif mendirikan masjid yang cukup mudah dijangkau dari lokasi pasar dan pemukiman masyarakat pedagang di Tanah Abang. Dengan dibantu oleh berbagai pihak, berdirilah kemudian di tahun 1770 Masjid Jami Al-Islam---yang karena perkembangan wilayah kini berada di Jalan KS Tubun 61, Petamburan, Jakarta Pusat. Dalam perjalanan tahun-tahun berikutnya Masjid Jami Al -Islam kemudian dipimpin oleh seorang ulama asal Hadramaut, Yaman Selatan berjuluk Habib Usman.
Dalam melancarkan dakwahnya Habib Usman banyak dibantu oleh dua orang kepercayaannya, yakni Haji Saidi dan Haji Muala yang asli Betawi Petamburan. Hingga tahun '20-an, dari tiga orang ulama Petamburan itu, yang tersisa kemudian hanya tinggal Haji Muala. Sejak itu aktivitas dakwah di wilayah Petamburan dilakukan sendirian oleh Haji Muala yang juga menjabat sebagai Kepala Takmir Masjid Jami Al-Islam. Tahun 1925 mendahului ikrar penggunaan bahasa Indonesia pada "Sumpah Pemuda" 1928, Haji Muala sudah merintis pemakaian bahasa Melayu dalam khotbah Jum'at di Masjid Jami Al-Islam.
Terobosan baru Haji Muala itu, sempat mendapat kecaman dari sesama ulama tradisional di wilayah Petamburan. Maklum saja, sebab di masa itu di seluruh wilayah Batavia (Betawi) semua masjid menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar khotbah Jum'at. Meski dicap sebagai masjid yang melakukan bid'ah, Haji Muala tak bergeming. Yang terpikir di benaknya ketika itu hanyalah bagaimana caranya agar dakwah Islam bisa cepat diterima oleh alam pikiran masyarakat Melayu.
Polemik panjang antara Haji Muala dengan para ulama itu, terdengar sampai ke kuping Pemerintah Hindia Belanda. Akibatnya Haji Muala digiring ke Kantor Polisi Belanda (HofdBureau) untuk dimintai keterangan, dan diminta untuk menuruti keinginan para ulama. Walaupun dilarang Haji Muala tetap saja dengan keputusannya. Tapi anehnya, banyak masjid di sekitar Tanah Abang hingga seluruh wilayah Betawi beringsut-ingsut mengikuti jejak Masjid Jami Al-Islam menerapkan bahasa Melayu.
Sikap nasionalis yang ditunjukkan Haji Muala tidak berhenti sampai disitu. Masjid yang memiliki model jendela lengkung di berandanya ini dijadikan sebagai basis perjuangan-biasa disebut sebagai tempat Kaum Republiken, melawan Belanda. Di masjid inilah para jampang di Petamburan dan Tanah Abang sering berkumpul membicarakan pergerakan.
Masjid dengan kubah--kini terbungkus aluminium, berbentuk bulat beralaskan atap model loteng mini berventilasi ini mudah dicirikan. Ada makam di bagian kiblatnya, persis menghadap ke sebuah lapangan kecil dan Jl. KS Tubun. Makam itu antara lain, di sebelah kanan bercungkup batu adalah makam para pendiri masjid. Sedang di sisi kiri, makam Tengku Radja Sabaroeddin dan keluarganya.
s Yang terakhir ini, disebut-sebut sebagai kakek dari pengacara tenar Adnan Buyung Nasution---yang sekarang rajin membersihkan, menziarahi dan merenovasi masjid ini. Masjid Al-Islam berada di sebelah timur RS Pelni dari arah perempatan Slipi. Baik dari arah Pasar Tanah Abang maupun Slipi, masjid ini mudah dijangkau oleh sarana transportasi yang siap mengantarkan Anda. Tapi agak sulit juga mencari masjid ini kalau mata tidak awas, karena terhalang oleh sebuah halte persis di muka masjid dan di depan RS Pelni.
Masjid Jami Al-Barkah (1818)
Bangka, Jakarta Selatan
Sudah menjadi bukti sejarah kalau wilayah Jakarta Utara dan Jakarta Timur, adalah daerah yang begitu banyak memiliki bangunan bersejarah. Dua daerah ini pada masa kolonial adalah daerah yang dipilih sebagai pusat aktivitas ekonomi maupun sosial oleh pemerintah maupun sipil Belanda. Maka tak heran di sana banyak bangunan
bekas kantor, benteng pertahanan, atau kediaman pembesar Belanda. Kalau ada rumah besar, biasanya ada pula pemukiman pribumi di sekitarannya. Lalu dimana ada pemukiman pribumi, umumnya pasti ada tempat ibadah berupa masjid atau langgar kecil.
Tapi siapa sangka kalau di daerah Bangka ternyata ada juga sebuah masjid tua yang dibangun pada awal abad ke 19. Padahal di tahun-tahun itu, Bangka termasuk daerah pedalaman. Tapi mungkin saja, karena bisa jadi Bangka berdekatan dengan Blok M. Wilayah elit yang dirancang oleh dan untuk orang-orang Belanda ketika itu. Dan memang sejak abad ke 18 pun pembukaan daerah-daerah baru sudah dilakukan hingga ke selatan Batavia. Ada Kebayoran Lama, Condet, Cilandak bahkan hingga ke Depok sekarang.
DI Bangka, tepat di pertengahan Jalan Kemang Utara pertigaan Jalan Kemang Timur, di situ terdapat sebuah masjid dengan atap joglo mirip bangunan Masjid Demak. Masjid itu adalah Masjid Jami Al Barkah yang didirikan tahun 1818 oleh seorang yang disebut Guru Sinin. Guru Sinin ini diyakini sebagai wali yang berasal dari Banten. Tapi sesungguhnya yang ada sekarang bukan bangunan asli seperti pertama kali dibangun tahun 1818. Replika masjid ini awalnya beratapkan rumbia dengan tiang penyangga dari batang kelapa berdinding papan.
Lokasi masjid saat itu pun bukan merupakan tanah matang. Dahulunya daerah berawa-rawa dengan kedalaman satu meter. Kemudian pada tahun 1932 pemugaran masjid secara permanen mulai dilakukan. Penggunaan material modern pun mulai dipakai, seperti bahan semen, genteng, batu bata dan lain sebagainya. Mulai tahun 1935, lalu 1950, 1960 dan 1970 bentuk fisik masjid sudah banyak mengalami perubahan. Ada penambahan-penambahan bangunan lain di sekitar masjid. Misalnya teras dan pagar dalam, juga pembuatan menara pendek setinggi kurang lebih 15 meter di muka masjid.
Sejak tahun 1985 tampilan masjid bertambah cantik, apalagi dengan dipakainya bahan keramik untuk lantai dan eternit untuk langit-langitnya. Sebagaimana masjid tua lainnya, Masjid Jami Al Barkah juga meninggalkan jejak sejarahnya. Di bagian barat masjid terdapat makam-makam tua yang salah satunya merupakan makam dari Guru Sinin yang wafat tahun 1920. Juga ada makam menantu dan cucu Guru Sinin, KH.Ridi yang wafat tahun 1933 dan KH Naisin yang hidup hingga usia 132 tahun. Sebagai tetua di Bangka, Guru Sinin dikenal pula sebagai orang yang memiliki ilmu kanuragan. Di hari-hari tertentu makam-makam tua itu masih didatangi para peziarah.





Masjid Jami Matraman (1837)
Pegangsaan, Jakarta Pusat
Sudah jadi kebiasaan masyarakat Melayu tempo dulu di Batavia, memplesetkan kata-kata yang sekiranya dianggap sulit untuk diucapkan. Banyak contoh nama-nama daerah di Betawi yang penyebutannya digampangkan sedemikian rupa. Misalnya daerah Mester di kawasan Jatinegara.
Kata Mester, kala itu sebenarnya
terucap untuk menyebutkan sebuah tempat dimana seorang pejabat Belanda tinggal di daerah itu--tanahnya membentang dari Salemba sampai daerah Jatinegara. Orang itu biasa dipanggil Meester Cornelis. Maka orang-orang Betawi yang ingin bepergian ke tempat itu menyebutnya, Mester.
Satu lagi yang juga masih berdekatan dengan wilayah Mester adalah daerah Matraman. Konon daerah ini merupakan pusat komunitas mantan prajurit-prajurit Kerajaan Mataram, Yogyakarta. Banyak dari sebagian prajurit yang diutus Sultan Agung untuk menyerang VOC pimpinan Jan Pietersen Coen di Batavia, memilih tetap tinggal di Batavia setelah gagal merebut pusat pemerintahan kolonial itu. Diduga prajurit-prajurit itu bukan tentara reguler, melainkan para relawan dari golongan masyarakat biasa di Mataram sana.
Jadi karena di daerah itu banyak orang-orang dari Kerajaan Mataram, orang Melayu di Batavia menyebutnya Matraman. Dari asal kata Mataraman, yang artinya tempat orang-orang Mataram. Sebagai anggota masyarakat dari sebuah kerajaan Islam, tentunya tingkat religiusitas mereka juga tidak diragukan lagi. Ini terbukti, di masa-masa awal mendiami daerah itu awal abad 18 mereka langsung mendirikan tempat ibadah. Tempat yang menjadi cikal bakal berdirinya Masjid Jami Matraman sekarang.
Pada tahun 1837 dua orang generasi baru keturunan Mataram yang lahir di Batavia, H. Mursalun dan Bustanul Arifin, memelopori pembangunan kembali tempat ibadah itu. Setelah selesai pembangunannya, dahulu masjid ini diberi nama Masjid Jami' Mataraman Dalem. Yang artinya masjid milik para abdi dalem (pengikut) kerajaan Mataram. Dipilihnya nama itu dimaksudkan sebagai penguat identitas bahwa masjid itu didirikan oleh masyarakat yang berasal dari Mataram. Dan memang terbukti hingga kini masjid itu disebut dengan Masjid Jami Matraman.
Melihat tampilan arsitekturnya, Masjid Jami Matraman dipengaruhi oleh gaya dari Mekah dan India. Sebagai seorang yang menyandang gelar haji pada masanya, H. Mursalun terkagum-kagum dengan bangunan Masjidil Haram dan Taj Mahal. Dua ciri kuat dari arsitektur kedua masjid itu adalah, bentuk beranda yang menggunakan pilar-pilar tipis dengan profil melengkung-lengkung diantaranya. Lalu bentuk kubah yang bulat bundar serta menara disamping masjid. Hal inilah yang juga kelihatannya diterapkan pada Masjid Jami Matraman.
Penggunaan masjid secara resmi dikukuhkan oleh Pangeran Jonet dari Kasultanan Yogyakarta, yang merupakan keturunan langsung dari Pangeran Diponegoro. Sholat Jum'at pertama di Masjid Jami Matraman itu juga dipimpin sendiri oleh Pangeran Jonet. Sejak itu hingga masa-masa pergerakan, Masjid Jami Matraman diramaikan oleh berbagai aktivitas keagamaan. Karena letaknya yang berdekatan dengan kantong-kantong pergerakan pemuda-daerah Pegangsaan dan Kramat, masjid ini sempat juga dicurigai sebagai tempat memupuk gerakan anti kolonial.
Maka pada tahun 1920, pemerintah kolonial Hindia Belanda berniat membongkar Masjid Jami Matraman. Setelah sebelumnya memanggil beberapa tokoh masyarakat dan ulama sekitar masjid ke HofdBureau--semacam kantor polisi zaman itu. Peristiwa itu membangkitkan amarah masyarakat sekitar Masjid Jami Matraman. Dipimpin langsung oleh H. Mursalun dan Bustanul Arifin yang ketika itu telah berusia lebih dari seabad, masyarakat sekitar menggalang kekuatan dan mengadakan mobilisasi massa.
Rupanya reaksi keras dari masyarakat itu menciutkan nyali pemerintah Belanda untuk membongkar masjid. Bahkan untuk mengambil hati dan simpati, tahun 1923, pemerintah Hindia Belanda ikut membantu renovasi bagian yang rusak dari Masjid Jami Matraman yang sekarang berada di Jalan Matraman II No. 1 Rt. 008/04 Kel. Pegasangsaan Kec. Menteng, Jak-Pus.
Tidak sulit mencari lokasi masjid ini. Letaknya yang berdekatan dengan perempatan Matraman--perpotongan empat jalan raya yakni Jalan Matraman Raya, Pramuka, Salemba dan Matraman, dapat dengan mudah dijangkau baik dengan transportasi umum maupun pribadi. Terminal bus Kampung Melayu atau Pasar Senen dapat dipilih sebagai alternatif. Sebelum Jalan Tambak dan setelah Kali Ciliwung dari arah Jalan Raya Matraman, sedikit ke Selatan sudah tampak bangunan Masjid Jami Matraman.


Masjid Al-Makmur (1840)
Cikini, Jakarta Pusat
Masjid Al Makmur yang terletak di jalan Raden Saleh No.30 Jakarta Pusat, dan didirikan tahun 1840 ini diduga kuat dibangun atas andil almarhum Raden Saleh yang ketika itu tengah membangun rumah di daerah Cikini. Lokasi rumah dan tanah masjid itu kini adalah areal kompleks RS Cikini, yang dahulu disebut Koningen Emma Hospital,
milik Koningen Emma Stichting (Yayasan Ratu Emma).
Kisahnya, usai berkeliling Eropa memperdalam ilmu lukisnya, pria berkumis melintang bernama lengkap Raden Saleh Syarif Bustaman ini kembali ke Hindia Belanda. Raden Saleh kemudian membeli sebidang tanah yang luas di daerah Cikini. Mulai dari pinggir Kali Ciliwung hingga ke barat. Di tanah itu dibangunlah sebuah rumah besar dan beberapa paviliun. Syahdan setelah mempersunting seorang gadis asal Bogor, Raden Saleh berniat hijrah ke kota hujan itu.
Namun sebelum pindah Raden Saleh mewakafkan sebidang tanahnya untuk dibangun masjid dan menjual rumah termasuk seluruh tanah miliknya--tidak termasuk tanah masjid yang ada di belakang kompleks rumah. Masjid yang dibangun atas andil Raden Saleh itu hanyalah masjid berbentuk sederhana. Berdinding bilik dengan bentuk seperti rumah panggung.
Pembeli rumah dan tanah itu adalah seorang tuan tanah kaya kondang keturunan Arab di daerah itu, ber-fam Alatas. Dulu sebelum menjadi Jalan Raden Saleh, wilayah Cikini disebut orang sebagai Alatas Land. Mengira bahwa tanah wakaf itu adalah bagian dari tanah yang dibeli oleh orangtuanya, salah seorang pemegang hak waris tanah itu Sayid Salim Ismail Salam bin Alwi Alatas, menjual kembali tanah itu kepada Koningen Emma Stichting (Yayasan Ratu Emma).
Yayasan misionaris milik orang Belanda itu bergerak di bidang pelayanan sosial, agama, dan pelayanan kesehatan. Merekalah yang membangun Rumah Sakit Cikini sekarang. Sebagai organisasi penyebar agama, tentu saja mereka merasa gerah dengan keberadaan sebuah masjid di dekat mereka. Meski sebenarnya tanah masjid itu bukan termasuk tanah milik mereka. Yayasan bersikeras ingin merobohkan masjid. Atas aksi itu jamaah masjid bereaksi dan memutuskan untuk memindahkan masjid ke lokasi lain.
Tahun 1890 tercatat sebagai tahun ketika masjid itu dipindahkan secara gotong-royong dengan diusung beramai-ramai oleh masyarakat sekitar. Tanah yang dipilih sebagai lokasi baru adalah tanah milik Sayid Ismail Salam bin Alwi Alatas yang lain----lokasi masjid sekarang. Kemudian hingga tahun 1923, rupanya pihak Koningen Emma Sticthing masih merasa gerah dengan keberadaan masjid yang beberapa ratus meter saja jaraknya dari tempat mereka. Mereka menuntut agar masjid itu dipindahkan ke lokasi yang lebih jauh.
Namun, kontan saja keinginan itu dibalas dengan reaksi keras dari masyarakat Islam Betawi di sekitar Cikini. Disebutkan aksi penentangan itu disokong pula oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional seperti HOS Cokroaminoto, H. Agus Salim, KH. Mas Mansyur dan Abi Koesno Cokro Soeyono. Bukannya dipindahkan, atas saran tokoh-tokoh tadi, tahun 1924 masjid justru dipugar dengan arsitektur yang lebih megah. Menurut penuturan, pembangunan itu dimaksudkan agar masjid setara dengan gereja-gereja yang ada ketika itu. Hilangnya kesan kumuh dan miskin itulah yang diinginkan H.Agus Salim cs.
Yang unik, waktu itu sebagai upaya menjaga diri dari campur tangan langsung Pemerintah Belanda, setiap sholat Jum'at masing-masing jamaah membawa sebilah golok ketika sholat. Tahun 1929 bangunan masjid semi-permanen secara resmi telah dapat digunakan untuk beribadah. Untuk memberikan penghargaan kepada tokoh-tokoh yang sebagiannya merupakan aktivis Sarikat Islam (SI) dan Masyumi itu, pada kubah di menara masjid dan di list-plang muka masjid ditorehkan lambang bintang dan bulan sabit.
Tahun 1935 pembangunan seluruh masjid selesai, dan diberi nama sebagai Masjid Al Makmur.Dan sejak itu masjid dengan atap bersusun dua itu dijadikan sebagai pusat segala aktivitas umat Islam masa itu. Tapi tahun 1964, keberadaan masjid ini kembali mendapat gugatan. Kali itu, ketenangan beribadah kaum muslimin di sekitar Masjid Al Makmur diganggu oleh Kementrian Agraria RI yang menerbitkan SK hak milik berupa sertifikat tanah atasnama Dewan Gereja Indonesia (DGI).
Dalam sertifikat itu disebutkan bahwa tanah di sekitar masjid-- termasuk tanah yang di atasnya dibangun masjid itu, diklaim milik DGI. Padahal di tahun yang sama, Masjid Al Makmur telah berbadan hukum berbentuk Yayasan Masjid Al Makmur bernomor akta notaris 13, tertanggal 8 Juli 1964 dengan notaris Adasiah Harahap. Badan pendirinya, disebutkan adalah Sukaryo Mustafa seorang pedagang yang bertempat tinggal di jalan Cisadane, ada Kamil Cokroaminoto---keturunan HOS Cokroaminoto, lalu H. Abdul Karim Naiman, seorang pegawai negeri yang sekarang anaknya -H. Sabihun Naiman, menjadi ketua pengurus Masjid Al Makmur.
Aksi penyerobotan itu rupanya (lagi-lagi) dirancang oleh pihak Koningen Emma Stichting, yang mensertifikatkan tanah itu atasnama DGI secara diam-diam. Sertifikat itu didaftarkan kepada Kementrian Agraria---yang ketika itu dirangkap oleh PM J.Leimena yang juga sekaligus Direktur RS Cikini, dan dinyatkan secara sah milik DGI. Sampai tahun 1970-1975, pihak rumah sakit tetap bersikeras menyatakan bahwa tanah masjid adalah bagian dari kompleks rumah sakit.
Tahun 1991 atas andil Gubernur KDKI Wiyogo Atmodarminto-setelah sebelumnya tahun '89-'90 diupayakan jalan damai dibantu Walikota Jak-Pus Abdul Munir, sertifikat tanah 'aspal' milik DGI tidak diakui. Dengan demikian masjid dinyatakan sah milik Yayasan Masjid Al Makmur. Dua tahun kemudian, 1993, Masjid Al Makmur ditetapkan sebagai Bangunan Bersejarah dan dilindungi oleh UU Monumen Sejarah.
Penasaran ingin melongok masjid yang sudah dipugar dua kali (1978 dan 1980) oleh Dinas Purbakala Kanwil Depdikbud ini ? Gampang, Pasar Senen, Kampung Melayu atau Stasiun KA Jabotabek Cikini bisa dipilih sebagai titik awal mencari Masjid Al Makmur yang sekarang dikelilingi oleh 7 gereja itu.


Masjid Agung Al Azhar (1952)
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan
Masjid putih berarsitektur indah ini dibangun pada tahun 1952. Tokoh-tokoh pendirinya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H.Gazali dan H. Suaid. Masjid yang awalnya diberinama Masjid Agung Kebayoran Baru ini dibangun selama enam tahun (1952 - 1958) dan berdiri di atas lahan seluas 43.756 m2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono mewakili walikota Jakarta Raya.
Perubahan nama menjadi Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan seorang tamu yang adalah Rektor Universitas Al Azhar, Syekh Muhammad Saltut. Disebutkan karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru.
Imam besar pertama masjid itu adalah Prof.DR. Haji Muhammad Abdul Karim atau yang lebih dikenal sebagai Hamka. Hamka pula yang mentradisikan aktivitas kuliah subuh, pegajian hari Ahad, dan kuliah Ramadhan di masjid ini. Tahun 1967, diatas lahan yang masih tersisa di sebelah utara didirikan pula sarana-sarana pendidikan Al Azhar, mulai dari TK dan SD Islam sampai SMAI. Dan sekarang sulit membedakan mana yang lebih dikenal, masjid-nya atau sekolahnya.
Tapi yang pasti kegiatan Majelis Taklim, Kursus Kader Mubaligh, Studi Islam, Kursus bahasa dan dakwah di Masjid Al Azhar sangat terbuka menerima jamaah dari daerah lain. Kuliah subuh di masjid yang berdekatan dengan Terminal Bus Blok M ini seringkali mendatangkan pembicara-pembicara berbobot dan terbuka bagi siapa saja yang ingin mendengarkan.





Masjid Istiqlal (1961)
Gambir, Jakarta Pusat
Taman Wilhelmina di depan Lapangan Banteng, tahun 1950. Sepi, gelap, kotor dan tak terurus. Tembok-tembok bekas bangunan benteng di taman itu penuh dengan lumut dan tanaman perdu, dengan ilalang tinggi dimana-mana. Tahun 1960, di tempat yang sama, sekitar 50.000 orang, dari masyarakat biasa, pegawai negeri, alim ulama, sampai
ABRI bekerja bakti membersihkan taman tak terurus di bekas benteng penjajah itu.
Setahun kemudian, tepatnya 24 Agustus 1961, seolah menjadi tanggal yang paling bersejarah bagi kaum muslimin di Jakarta khususnya, dan Indonesia umumnya. Untuk pertama kalinya, di bekas taman itu, kota Jakarta memiliki sebuah masjid besar. Sebuah masjid yang dimaksudkan menjadi simbol kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Yang kemudian sengaja dicari padanan katanya dalam bahasa Arab, dan disepakati diberi nama Istiqlal. Jadilah, Masjid Istiqlal namanya.
Tanggal yang bertepatan dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW itu, dipilih sebagai momen pemancangan tiang pertama oleh Presiden I RI, Ir. Soekarno yang ketika itu langsung bertindak sebagai Kepala Bidang Teknik. Dan sejak itu-dengan beberapa kali pergantian kepanitiaan, terhitung hingga hampir 10 tahun lamanya Masjid Istiqlal baru rampung pembangunannya.
Adalah KH. Wahid Hasyim-Menteri Agama RI pertama sekaligus ayahanda Presiden Abdurrahman Wahid, yang melontarkan ide pembangunan masjid itu. Tahun 1950 bersama-sama dengan H. Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto dan Ir. Sofwan beserta sekitar 200-an orang tokoh Islam pimpinan KH. Taufiqorrahman ide itu kemudian dilembagakan dengan membentuk Yayasan Masjid Istiqlal.
Gedung Deca Park di Lapangan Merdeka---- kini Jalan Medan Merdeka Utara di Taman Moseum Nasional, menjadi saksi bisu atas dibentuknya Yayasan Masjid Istiqlal yang dikukuhkan oleh notaris Elisa Pondang, 7 Desember 1954. Setahun sebelumnya, Ir. Soekarno menyanggupi untuk membantu pembangunan masjid, bahkan memimpin sendiri penjurian sayembara desain maket masjid. Setelah melalui beberapa kali sidang, di Istana Negara dan Istana Bogor, dewan juri yang terdiri dari Prof.Ir. Rooseno, Ir.H. Djuanda, Prof.Ir. Suwardi, Hamka, H. Abubakar Aceh dan Oemar Husein Amin akhirnya pada 5 Juli 1955 memutuskan desain atasnama Silaban dinyatakan sebagai model dari Masjid Istiqlal.
Terbawa iklim politik dalam negeri yang cukup memanas, proyek ambisius itu---karena berbarengan dengan pembangunan monumen lain seperti Gelora Senayan, Monas,dsb, tersendat-sendat pembangunannya. Hingga pertengahan tahun '60-an proyek Masjid Istiqlal terganggu penyelesaiannya. Puncaknya ketika meletus peristiwa G 30 S/PKI tahun '65 - '66, pembangunan Masjid Istiqlal bahkan terhenti sama sekali.
Barulah ketika Himpunan Seniman Budayawan Islam memperingat miladnya yang ke-20, sejumlah tokoh, ulama dan pejabat negara tergugah untuk melanjutkan pembangunan Masjid Istiqlal. Dipelopori oleh Menteri Agama KH. M. Dahlan upaya penggalangan dana mewujudkan fisik masjid digencarkan kembali. Presiden Soekarno, yang pamornya di mata masyarakat mulai luntur, kedudukannya dalam kepengurusan diganti oleh KH. Idham Chalied yang bertindak sebagai koordinator panitia nasional Masjid Istiqlal yang baru.
Lewat kepengurusan yang baru, masjid dengan arsitektur bergaya modern itu selesai juga pembangunannya. Dilihat dari arsitekturnya, karena dimaksudkan sebagai masjid besar yang berdaya tampung banyak, Masjid Istiqlal menerapkan prinsip minimalis. Ruang-ruang terbuka/plaza di kiri-kanan bangunan utama dengan tiang-tiang lebar diantaranya, mungkin dimaksudkan oleh perancangnya untuk memudahkan sirkulasi udara dan penerangan yang alami.
Sekarang, masjid seluas 4 hektare ini semarak dengan aktivitas dan organisasi ke-Islaman di dalamnya---ada Dewan Masjid Asia dan Lautan Teduh, MUI, Dewan Masjid Indonesia, Pusat Perpustakaan Islam Indonesia, LPTQ dan BP 4 Pusat. Bahkan diatas lahan seluas 9,5 hektare disekelilingnya, sebagian dipergunakan untuk kegiatan ekonomi-warung makan, souvenir, dsb.
Untuk mencapai ke lokasi masjid berdaya tampung 100.000 orang ini cukup banyak alternatif transportasi yang bisa dipakai. Di sebelah utara masjid berjarak 500 meter, ada stasiun KA Jabotabek Juanda. Sedikit ke timur-sekitar 1 kilometer, pusat perbelanjaan Pasar Baru. Atau bisa juga turun di Gambir yang terletak di selatan masjid.


Masjid Agung Sunda Kelapa (1969)
Menteng, Jakarta Pusat
Meletusnya peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965 ternyata banyak memberi pelajaran berharga. Sejak peristiwa menggemparkan itu, orang makin menyadari pentingnya agama. Banyak masyarakat di Ibukota merindukan kembali ke suasana kehidupan yang lebih Islami. Setidaknya itulah menurut pengamatan H.M. Kasasi, salah seorang pengurus harian Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, yang juga menjadi saksi atas berdirinya salah satu masjid bergengsi di Jakarta itu.
Terlebih masyarakat Menteng, menurut Kasasi, juga merasakan hal demikian. Daerah Menteng, siapa yang tak kenal daerah ini. Dahulu tempat ini adalah tempat paling bergengsi---sampai sekarang pun masih. Pejabat, penggede, pengusaha kaya, para jenderal banyak memilih tinggal didaerah ini. Tahun 1965, di beberapa lokasinya bahkan tercatat sebagai tempat paling berdarah menurut sejarah. Tujuh jenderal diculik dan tewas terbunuh.
Pencetus berdirinya Masjid Agung Sunda Kelapa, menurut Kasasi, adalah Alamsyah Ratu Prawiranegara yang ketika itu masih bertugas di Sekneg. Mewakili masyarakat Menteng, Alamsyah memandang daerah itu perlu memiliki sebuah masjid besar-ketika itu tidak ada satupun masjid berada di wilayah itu. Lalu di tahun 1966 sudah mulai terbentuk susunan kepanitiaan pembangunan masjid dengan ketuanya H.BR. Motik.
Di tahun yang sama rombongan panitia itu kemudian menemui Gubernur Ali Sadikin, setelah sebelumnya bertemu dengan Pangdam V Jaya, Jenderal Amir Mahmud dan Jenderal A.H. Nasution. Mereka menyampaikan keinginan agar gedung BAPPENAS bisa dialihkan menjadi bangunan masjid, Masjid Raya Menteng. Tapi ketika itu pemerintah dengan Kabinet Ampera-nya, ternyata masih membutuhkan gedung itu--sampai sekarang masih dipakai.
Kemudian kepada Ali Sadikin, panitia meminta izin agar lokasi Stadion Menteng atau lapangan Taman Sunda Kelapa dapat dijadikan sebagai lokasi masjid itu. Menyetujui permohonan itu, Ali Sadikin justru meminta panitia untuk memilih salah satunya. Tentu bisa ditebak, lapangan Taman Sunda Kelapa lah yang kemudian dipilih. Maka akhirnya pembangunan Masjid Sunda Kelapa pun dimulai, peletakan batu pertamanya dilakukan tepat pada tanggal 21 Desember 1969.
Sebagai masjid yang berada di lingkungan elit, tentunya pembangunan masjid juga diperhitungkan secara matang. Tercatat, Masjid Sunda Kelapa adalah masjid pertama di Jakarta yang menerapkan konsep baru tentang arsitektur masjid berkelas. Masjid inilah yang pertama kali memadukan konsep antara aktivitas ibadah, perekonomian dan pendidikan. Yang kemudian diikuti oleh masjid-masjid lain di Jakarta sampai sekarang. Aktivitas itu diakomodasi oleh keberadaan lantai yang berbeda. Lantai atas adalah sebagai pusat ibadah dan dakwah. Lantai bawah, digunakan sebagai aula/tempat resepsi (disewakan), perkantoran, perpustakaan, ruang rapat, pengislaman dan tempat berwudhu.
Secara umum gaya arsitektur yang diterapkan pada masjid ini tetap mengikuti gaya yang berkembang pada masa itu. Berciri modern, praktis dan sederhana dalam memilih bentuk pintu, jendela, maupun asesoris. Ini bisa dilihat dari bentuk bangunan yang lebih mengandalkan struktur beton pada pilar, list-plang, dan atap. Atau model lampu taman, undakan tangga maupun plaza di pintu masuk utamanya.
Sekarang kalau menyebut Sunda Kelapa sama artinya dengan gengsi. Masjid ini lebih dikenal karena banyak pasangan berduit memilih melansungkan acara resepsi di sana, disamping aktivitas remaja masjid-nya yang juga lumayan bagus. Tak heran masjid yang terletak di belakang (selatan) gedung BAPPENAS ini dianggap sebagai masjid kelas satu, selain Masjid Biru Pondok Indah. Anda ingin menengok masjid yang diresmikan oleh Ali Sadikin 31 Maret 1971 ini ? Ada dua alternatif yang bisa dipakai. Mau dari depan Hotel Indonesia, lalu menunggu bus di Jalan Imam Bonjol bisa. Dari perempatan Megaria pun mudah.

0 komentar:

Posting Komentar