MASJID-MASJID
BERSEJARAH
Masjid Jami Al-Atiq (1500-an)
Kampung Melayu Besar, Tebet,Jakarta
Selatan
Kampung Melayu Besar, Tebet,
Bertahun-tahun dibui,
tahun 1890 Pitung dan Ji'ih akhirnya berhasil kabur dari penjara Meester
Cornelis. Mereka berdua melarikan diri sambil menyusuri Kali Ciliwung. Karena
kelelahan terus menerus dikejar Opas Belanda, dua sahabat itu bersembunyi di
sebuah masjid pinggiran kali. Beruntung, ulama dan jamaah masjid----yang tahu
ada berita santer pelarian pribumi dari penjara Mester, menyembunyikan mereka
di dalam masjid. Pitung dan Ji'ih mujur, rupanya masyarakat seputar masjid tahu
reputasi jagoan dari Marunda itu. Jadi 'ngumpet' berbulan-bulan di masjid tak
jadi masalah bagi mereka berdua dan jamaah masjid.
Itulah sepenggal kisah
heroik yang menyertai keberadaan Masjid Jami Al Atiq, di Jalan Masjid I Rt.003
Rw.01, Kampung Melayu Besar, Jakarta Selatan. Begitu banyak kisah sejarah dan
mistis yang disimpan masjid ini, rupanya tidak membuat Masjid Al Atiq
berpenampilan cantik. Kini sosoknya tak ubahnya seorang lelaki tua renta tak
terurus yang ditinggalkan sanak-saudara. Berbagai dokumen dan peninggalan
bersejarah banyak yang raib tak jelas.Lebih-lebih setelah masjid ini terkena
dan dijadikan tempat penampungan masyarakat korban banjir tahun 1996 lalu.
Sebagian besar material kini telah berganti dengan beton, walau disebutkan
arsitekturnya tidak berubah. Sisa-sisa masa lalu itu, bisa dilihat pada
sebagian pintu berdaun dua dan berpatri timah serta sederetan jendela kaca di
bagian atas sebelah barat.
Disebutkan masjid ini
dibangun sekitar awal tahun 1500-an. Dan tak banyak yang tahu kalau Masjid Al
Atiq sebenarnya adalah peninggalan Sultan Banten I, Kesultanan Banten Lama,
Sultan Maulana Hasanuddin. Masjid ini dibangun ketika putra dari Sunan Gunung
Jati alias Syarif Hidayatullah itu melakukan kunjungan ke Batavia . Jadi masjid ini dibangun ketika masa
Walisongo berkiprah di wilayah Jawa. Maka tak heran jika arsitektur masjid
memiliki kemiripan dengan standar arsitektur masjid yang dibangun oleh para
wali.
Atapnya yang berbentuk
prisma bersusun tiga, mengingatkan pada arsitektur masjid di Demak, Gresik dan
masjid-masjid lainnya sekitar Jawa Tengah. Pembangunan Masjid Al Atiq diduga
berbarengan dengan pembangunan masjid yang ada di Banten dan daerah Karang
Ampel, Jawa Tengah. Dua masjid yang juga dibangun karena peran Sultan Maulana
Hasanuddin.
Sekitar awal tahun
1619, ketika Pangeran Jayakarta dan pasukannya hendak menuju pusat kota Batavia
menyusuri Kali Ciliwung, Masjid Al Atiq dahulu berada dalam keadaan menyedihkan.
Tidak terpelihara dan nyaris roboh. Sebelum meneruskan perjalanan dikisahkan
rombongan itu singgah dan memperbaiki wujud masjid serta menetap beberapa lama
di wilayah itu yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai
pengusaha sado. Maka tak heran awalnya masjid ini disebut dengan Masjid Kandang
Kuda.
Tidak cuma sebagai
saksi bisu singgahnya tokoh-tokoh bersejarah, Masjid Al Atiq banyak juga
menyimpan dongeng-dongeng mistis. Misalnya, tentang ampuhnya tongkat khatib di
mimbar masjid. Alkisah pernah suatu ketika ada seorang yang disembuhkan
penyakitnya lewat ramuan dari serpihan kayu pada tongkat itu. Sekarang
satu-satunya benda pusaka yang masih tersisa ya tongkat itu. Tapi tentunya,
Anda sekarang tidak bisa sembarangan menyentuh tongkat itu . Kalau hanya
sekedar ingin melongok, dan membayangkan dimana Si Pitung dan Ji'ih
bersembunyi, Terminal Bus Kampung Melayu dan Stasiun KA Jabotabek Tebet rasanya
bisa dijadikan alternatif menuju ke tempat itu.n
MASJID-MASJID
BERSEJARAH
Masjid "Si Pitung"
Al-Alam (1600-an)
Marunda,Jakarta
Utara
Marunda,
|
Jika Anda penggila kisah-kisah jampang Betawi tempo dulu, rasanya
belum pas kalau belum menengok Masjid Al Alam atau lebih kesohor disebut
Masjid Si Pitung ini. Bayangkanlah, sebelum menjadi "Robin Hood"
Betawi, Pitung kecil disebutkan banyak menghabiskan waktu bermainnya di
masjid ini.Belajar agama, belajar 'pukulan' sampai sembunyi dari opas dan
|
kompeni, juga di masjid
ini. Tapi jangan salah, bukan Si Pitung atau keluarganya yang membangun
masjid ini. Masjid yang terletak persis di tepi Pantai Marunda Pulau, Kelurahan
Cilincing ini diperkirakan dibangun pada tahun 1600-an. Meski telah berusia 400
tahun, uniknya masjid ini cukup terawat dengan baik walau kondisi ketuaannya
tak bisa disembunyikan. Arsitekturnya mengingatkan pada model Masjid Demak,
namun berskala lebih mini-ukuran 10x10 m2. Atapnya yang berbentuk joglo
ditopang oleh 4 pilar bulat "kuntet," seperti kaki bidak catur.
Mihrab---pas dengan ukuran badan menjorok kedalam tembok, berada di sebelah
kanan mimbar. Berbeda dengan masjid tua lain, uniknya masjid ini berplafon
setinggi 2 meter dari lantai dalam.
Terpeliharanya Masjid
Al Alam tak lepas dari bentuknya yang relatif kecil menyerupai mushola. Selain
itu, hingga kini pun masjid ini begitu amat dicintai oleh penduduk sekitarnya.
Hampir di setiap waktu-waktu sholat-terutama maghrib, dan 'isya, Masjid Al Alam
selalu diramaikan jamaahnya. Bukan Cuma itu, kelihatannya masjid ini sering
didatangi para peziarah pula. Hal ini terlihat dengan dibangunnya sebuah
pendopo persis di belakang masjid, sebelah timur. Yang terkesan sengaja
dihadirkan untuk upacara-upacara khusus.
Tidak diketahui pasti
siapa pendiri masjid ini, minimnya data sama halnya dengan ketidaktahuan
masyarakat sekitar masjid. Bahkan tokoh masyarakat di sekitar rumah tinggal Si
Pitung sekalipun. Yang diketahui oleh H.Atit, salah seorang pengurus masjid,
bahwa orang-orang sekitar menyebut masjid ini dengan sebutan Masjid Gaib. Dari
dongeng turun-temurun, disebutkan dalam proses pembuatannya dahulu, masjid ini
dibangun hanya dalam tempo sehari semalam saja. Tapi ditambahkan oleh H. Atit,
hal itu dimungkinkan, karena sebelum masjid ini ada, pasukan dan rombongan
Pangeran Fatahillah datang ke Marunda sesaat setelah menang perang dengan
Portugis di Sunda Kelapa.
Sejak tahun 1975 Masjid
Al Alam dinyatakan sebagai cagar budaya. Pemda DKI Jakarta rajin menyokong
setiap upaya untuk melestarikan masjid ini. Di sekeliling masjid sekarang sudah
dibuatkan pagar beton, berbentuk seperti pagar batas provinsi. Untuk menjangkau
masjid, dari Tanjung Priok ada angkutan umum yang menuju ke Pasar Cilincing.
Dan dari pasar Cilincing, pengunjung mesti berganti angkutan yang menuju ke
arah Marunda. Dapat pula dipilih Angkot jurusan Bulak Turi, yang melintas ke
jalan masuk wilayah perkampungan Marunda.
Masjid Jami As-Salafiyah (1620)
Jatinegara Kaum,Jakarta
Timur
Jatinegara Kaum,
|
Sekitar bulan Mei tahun 1619 di daerah Mangga Dua, pasukan Pangeran
Jayawikarta---selanjutnya lebih dikenal dengan Jayakarta, berhadap-hadapan
dengan tentara Pemerintah Hindia Belanda pimpinan Gubernur Jenderal Jan
Pietersen Coen. Pertempuran sengit terjadi, dan pasukan Pangeran Jayakarta
terdesak.
|
Pasukan Belanda
mengepung dari arah Senen, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Tanjung Priok. Karena
terjepit Pangeran Jayakarta dan pasukannya bergerak mundur ke timur hingga
daerah Sunter, lalu ke selatan. Sambil terus bergerak ke selatan, ketika itu
Pangeran Jayakarta membuang jubahnya ke sebuah sumur tua.
Mengira Pangeran
Jayakarta telah tewas kedalam sumur tua itu, Pasukan Belanda menghentikan
pengejaran dan menimbun sumur itu dengan tanah. Melihat situasi yang tidak
memungkinkan untuk kembali, Pangeran Jayakarta dan sisa pengikutnya meneruskan
perjalanan terus ke selatan. Sampailah mereka ke sebuah hutan jati yang lebat.
Untuk sementara mereka beristirahat di tepi Kali Sunter yang membelah hutan itu
yang kemudian dikenal masih bagian dari daerah Jatinegara.
Seterusnya Pangeran
Jayakarta dan pengikutnya menetap dan membangun perkampungan baru di tempat
itu. Perkampungan berkembang dengan kehadiran kaum pendatang lainnya.
Dikisahkan, karena di tempat itu masih banyak hutan jati maka sumber ekonomi
masyarakatnya mengandalkan diri dari kerajinan kayu jati. Inilah mungkin
mengapa daerah Klender-berdekatan dengan Jatinegara Kaum, dikenal sebagai pusat
industri furnitur hingga kini.
Mulai tahun 1620,
Pangeran Jayakarta membangun sebuah masjid yang lokasinya berdekatan dengan
Kali Sunter. Dahulu sebelum bernama Masjid As-Salafiyah, masjid ini dikenal
dengan sebutan Masjid Pangeran Jayakarta. Dalam perkembangannya, masjid ini
rupanya digunakan oleh Pangeran Jayakarta untuk menggalang kekuatan kembali.
Berpuluh-puluh tokoh masyarakat dan jawara serta ulama seringkali berkumpul di
masjid ini menyusun strategi perjuangan dan dakwah Islam.
Tahun 1700 Pangeran
Sugeri, putera Sultan Fatah dari Banten, memugar masjid ini. Sebelumnya
bersama-sama dengan Pangeran Jayakarta, Sugeri dan Fatah yang terbuang dari
Kesultanan Banten ini---karena Sultan Haji saudara Sultan Fatah melakukan kup
dibantu Belanda, berjuang melawan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia.
Pangeran Jayakarta dan Pangeran Sugeri kemudian dimakamkan di komplek masjid
bertiang penyangga jati ini.
Tercatat beberapa
peninggalan sejarah masjid ini hilang tak ketahuan rimbanya. Yang tersisa hanya
empat tiang penyangga dan sebuah kaligrafi Arab berbentuuk sarang tawon di
dalam plafon menara masjid. Seperti nasib masjid tua lainnya, As Salafiyah sekarang
lebih terlihat lapang. Penampilannya pun terkesan mewah dengan keramik dan
marmer menutupi hampir seluruh temboknya. Persis sama dengan masjid-masjid
seumurnya, tampaknya ukuran asli As Salafiyah hanya seluas empat pilar dengan
selasar sepanjang 5 meter di setiap sisinya---separuh bagian barat bangunan.
Dan inilah masjid tua yang paling banyak memiliki makam di sisi selatan, barat,
dan utara.
Mudah saja memilih
angkutan untuk menuju ke Masjid As-Salafiyah. Terminal Pulogadung atau Pasar
Klender adalah terminal yang terdekat dengan masjid. Dari Senen ada MetroMini
T-47, dari Kampung Rambutan ada Patas 98, dari Rawamangun ada Angkot T-26, dan
dari Kampung Melayu ada Kopaja T-501. Silahkan pilih, Anda mau darimana ?
MASJID-MASJID
BERSEJARAH
Masjid Jami An-Nawier (1700-an)
Pekojan,Jakarta
Utara
Pekojan,
|
Pekojan. Asal katanya dari kata Koja, adalah kain tenun yang dipakai
untuk ikat kepala oleh orang-orang Banten atau Badui; atau juga berarti orang
|
Kampung ini katanya
dominan dimukimi oleh orang-orang keturunan India . Tapi entah apakah itu punya
arti sama dengan Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora di Jakarta Utara, yang
tempo dulu disebut sebagai Kampung Pekojan juga.
Namun untuk memperkuat
sebutan itu ada bukti yang dapat dijadikan cara untuk memperkuat dugaan itu.
Salah satu masjid tua di daerah itu-didirikan tahun tahun 1700-an, Masjid Jami
An-Nawier namanya, menunjukkan gelagat kesana. Hingga sekarang masjid yang
didirikan oleh seorang ulama yang biasa dipanggil sebagai Komandan Dahlan,
sering diziarahi oleh para ulama maupun masyarakat biasa dari daerah Banten.
Jika dikaitkan dengan
ikat kepala, boleh jadi ada hubungannya pula. Mungkin saja, Komandan Dahlan
atau pendiri lainnya adalah mantan prajurit Kesultanan Banten yang ikut
membantu Fatahillah menyerang penjajah di Sunda Kelapa. Lalu setelah itu
bermukim di sebuah wilayah di selatan Pelabuhan Sunda Kelapa, dan beranak-pinak
di wilayah itu. Mungkin karena tradisi berpakaian orang Banten dahulu seperti
orang-orang dari Badui sekarang---gemar menutupi kepalanya dengan ikatan kain
tenun, maka daerah itu disebut sebagai Pekojan. Sama halnya dengan daerah
Matraman, tempat mukimnya orang-orang Mataram.
Makam Komandan Dahlan
kini bisa dilihat di sebelah utara masjid yang dikelilingi batu pahatan besar
buatan abad 18. Di sekitar masjid pun ada beberapa makam-makam tua para ulama
besar Kampung Pekojan. Konon Masjid Jami Pekojan ini dahulunya menjadi induk
dari masjid-masjid sekitar Batavia .
Dahulu setiap hari Jum'at dihadiri lebih dari 2.000 jamaah. Peninggalan sejarah
masjid ini tak hanya makam, mimbar berukir di mihrab masjid adalah pemberian
dari salah seorang Sultan Pontianak pada awal berdirinya masjid di abad ke 18.
Sampai kini Masjid Jami
An-Nawier telah mengalami beberapa kali pemugaran. Terutama pada bagian
interior masjid, bagian list-plangnya yang bermotif gunungan dan sayap
kelelawar, serta menara masjid yang menjadi satu bagian dengan bangunan masjid.
Jika diamati betul, ada kesan kalau masjid ini bukan bangunan yang diniatkan
sebagai masjid. Ruangan dalam masjid berbentuk leter-L. Lalu untuk menopang
atapnya yang berjumlah dua memanjang dari utara ke selatan ada 33 buah pilar
model romawi. Lalu di sebelah kanan bagian mihrab, terdapat semacam pos jaga
monyet. Belum lagi model pagar temboknya yang tinggi dan tebal, lalu model
list-plang yang juga mirip dengan bangunan Belanda pada umumnya. Ada kesan kuat masjid ini
sebelumnya, bisa jadi sebuah benteng atau masjid yang sengaja dibuat dan
diapakai sebagai benteng.
Masjid An Nawier
Pekojan berada di Jalan Masjid Pekojan Gg. II, Kelurahan Pekojan, sebelah barat
Stasiun KA Kota. Agak sulit juga mencari lokasinya, karena di kiri dan kanan
serta belakang masjid terjepit pemukiman penduduk sekitar Jalan Pengukiran.
Tapi yang jelas tidak sulit memilih sarana transportasi. Terminal Grogol dan Kota bisa dipilih untuk
menilik masjid yang juga berdekatan lokasinya dengan Masjid Al Anwar di Jalan
Pangeran Tubagus Angke ini.
MASJID-MASJID
BERSEJARAH
Masjid Jami Al - Makmur (1704)
Kebon Kacang,Jakarta
Pusat
Kebon Kacang,
|
Perang antara Kerajaan Mataram, pimpinan Sultan Agung melawan VOC
dibawah komando Jenderal Jan Pietersen Coen memperebutkan
|
Bahkan sudah menjadi
rahasia sejarah, sedikit banyak, orang-orang Mataram ini memberi pengaruh pula
pada pembentukan budaya awal masyarakat Betawi. Mulai dari struktur bahasa,
adat istiadat, pakaian sampai nama-nama tempat di sekitar Betawi tempo dulu.
Lalu selain ditularkan
lewat saudagar Arab, perkembangan Islam di Batavia ditradisikan juga oleh
orang-orang dari Mataram ini. Salah seorang bangsawan keturunan Kerajaan
Mataram yang tercecer dari perang itu, diantaranya adalah Raden Kartobuso yang
menurunkan anak bernama KH. Muhammad Asyuro. Muhammad Asyuro yang telah berhaji
itu kemudian memilih wilayah Tanah Abang sebagai tempat mukimnya yang baru.
Seolah sudah menjadi pakem baku ,
setiap pemukiman yang dibangun oleh kalangan Mataram pasti dilengkapi juga
dengan sarana ibadah.
Masjid Al Makmur
sekarang----persis bersebelahan dengan Pasar Tanah Abang, bercikal bakal dari
sebuah langgar/mushola yang dibangun oleh KH. Muhammad Asyuro tahun 1704
masehi. Keberadaan langgar ini terus berlanjut sampai ke generasi KH. Muhammad
Asyuro berikutnya. Kedua anak KH Muhammad Asyuro, KH. Abdul Murod Asyuro dan
KH. Abdul Somad Asyuro tercatat menjadi penerus dakwah ayah mereka hingga masuk
ke abad 20.
Dengan semakin
berkembangnya perkampungan dan bertambahnya jumlah penduduk sekitar langgar,
keberadaan langgar itu dirasa tidak representatif lagi menampung jamaah yang
semakin bertambah. Atas inisiatif tokoh masyarakat Tanah Abang keturunan Arab,
Abu bakar bin Muhammad bin Abdurrahman Al-Habsyi, tahun 1915 langgar diubah
menjadi masjid besar. Masjid yang dibangun di atas tanah wakaf-1.142 m2, milik
Abu Bakar itu kemudian diberi nama Al Makmur.
Tahun 1932 masjid ini
diperluas hingga ke arah utara seluas 508 m2. Perluasan di atas tanah wakaf
Salim Bin Muhammad bin Thalib itu kemudian ditambah lagi dengan sebidang tanah
milik masjid di bagian belakang seluas 525 m2 di tahun 1953. Jadi luas total
masjid ini tercatat memakan lahan sebesar 2.175 m2. Tapi jangan heran jika kita
melongok Masjid Al Makmur yang terletak di Jalan KH Mas Mansyur 6 sekarang,
sosoknya terlihat tidak begitu istimewa. Tergeser oleh hiruk-pikuk pasar yang
ruwet, dengan pemandangan kaki lima
yang tumpah ke jalan, masjid ini seperti kehilangan karisma sebagai masjid tua.
Akibat pengembangan
jalan, kini Masjid Al Makmur hanya menyisakan (habis) beranda depan dengan tiga
gerbang berpilar ramping berbentuk kelopak melati dan list-plang dengan lima lubang angin serta
dua menara berkubah kecil bergaya mercusuar (dengan jendela dan teras) di kiri
kanan bangunan utama. Sementara, kadang-kadang pedagang kaki lima dengan enaknya menjajakan dagangannya di
muka masjid. Jadi lengkap sudah kesendirian Masjid Al Makmur.
Lokasi masjid yang
berada di salah satu pusat perbelanjaan terbesar Jakarta ini sangat memudahkan dijangkau dari
arah manapun. Dari Bendungan Hilir ada bemo atau angkutan kota yang menuju ke arah masjid ini. Demikian
juga jika daerah Harmoni yang dipilih sebagai alternatif untuk menuju ke lokasi
Masjid Al Makmur. Atau dari Jalan MH Thamrin maupun Sudirman, pilih saja bus kota ke arah Tanah Abang.
Masjid Al-Mansur (1717)
Sawah Lio, Jembatan Lima,Jakarta
Barat
Sawah Lio, Jembatan Lima,
|
Konon sebelum diberi
nama Al Mansur, pembangunan masjid ini dirintis oleh seseorang dari Kerajaan
Mataram bernama Abdul Malik. Abdul Malik adalah putra dari Pangeran
Cakrajaya, yang sebelumnya bergabung dengan Tentara Mataram berperang di
Tahun 1717 masehi
tercatat sebagai tahun pembangunan masjid bermenara setinggi 50 meter,
berkubah seperti topi baja kompeni, dan berjendela di sepanjang batang
menaranya ini.
|
Tak ada catatan resmi,
diberi nama apa masjid dengan atap seperti rumah biasa ini. Namun yang pasti
seperti diakui oleh masyarakat sekitar daerah Kampung Sawah Lio, Tambora, alur
sejarah masjid Al Mansur diyakini seperti itu adanya. Hingga dua abad kemudian
kegiatan dakwah tetap diteruskan oleh keturunan Abdul Malik, seperti Imam
Muhammad Habib, dan ulama-ulama perantau seperti Imam Muhammad Arsyad
Banjarmasin, pengarang kitab Sabilil Muhtadin.
Imam Muhammad Arsyad
Banjarmasin inilah yang kemudian memperbaiki letak mihrab masjid. Pembentulan
arah kiblat itu diakukan bersama-sama dengan sejumlah ulama lokal pada 2 Rabiul
Akhir 1181 H tau l1 Agustus 1767 M. Dua abad berikutnya, tanggal 25 Sya'ban
1356 H / 1937 M dibawah pimpinan KH. Muhammad Mansyur bin H.Imam Muhammad
Damiri diadakan perluasan bangunan masjid. Berturut kemudian, untuk menjaga
terpeliharanya tempat suci serta makam-makam para ulama (di depan kiblat), maka
di sekitar masjid dibuatkan pagar tembok (sekarang berpagar besi).
Tahun '60-an adalah
kali kedua masjid di Jalan Sawah Lio ini dipugar. Hasilnya seperti yang
terlihat sekarang. Merapat dengan jalan di selatan, di bagian utara dan timur
berdempetan dengan pemukiman. Seperti Masjid Al-Alam, Al-Anwar dan
As-Salafiyah, bangunan asli masjid ini berukuran 10x10 m2 ----bekasnya adalah
bagian terendah di dalam masjid. Arsitekturnya pun tak jauh berbeda dengan
model-model masjid masa itu. Beratap joglo dua tingkat dan ditopang empat pilar
besar berdiameter 1,5 meter. Jendelanya hanya sebuah lobang segi empat
berteralis kayu profil gada pada setiap sisi tembok. Model pintunya, berdaun
dua dengan profil pahatan berlian. Kini , tembok, jendela dan pintu di semua
sisinya dimajukan sejauh 10 meter.
Di masa awal setelah
proklamasi kemerdekaan, masjid ini digunakan sebagai tempat mobilisasi pejuang
sekitar Tambora, pimpinan KH. Muhammad Mansur. Sebuah pertempuran frontal
dikisahkan pernah terjadi di muka masjid. Terjadi baku
tembak antara pejuang RI yang berlindung di masjid dengan tentara NICA yang
kala itu masuk dari Pelabuhan Sunda Kelapa bergeser ke selatan menuju daerah Kota lalu menyebar ke
sekitar Tambora.
Dan nama beliau pun
diabadikan untuk nama jalan persis di muka Jalan Sawah Lio II, Kelurahan
Jembatan Lima. Tanggal 12 Mei 1967 KH. Muhammad Mansur wafat, dan kepengurusan
masjid dekat Stasiun KA Angke dan Pasar Jembatan Lima ini dilanjutkan oleh
Badan Panitia Kepengurusan Masjid Jami Al Mansur hingga sekarang.
Masjid Angke Al-Anwar (1761)
Angke,Jakarta
Barat
Angke,
|
Ketika bahu membahu
membantu pasukan Pangeran Fatahillah menggempur VOC di Pelabuhan Sunda
Kelapa, sama halnya dengan orang-orang Mataram sebelumnya, orang-orang dari
Kasultanan Banten pun memilih menetap di
Salah seorang yang tidak bisa lepas dari peristiwa itu, adalah nama Tubagus Angke. |
Seorang bangsawan
Banten bergelar pangeran yang kemudian wafat di Batavia . Dan keberadaan masjid yang dahulu
disebut Masjid Angke saja ini tak terlepas dari keberadaan Tubagus Angke.
Walaupun berukuran
kecil--15x15 m2 berdiri di atas lahan 200 m2, tapi masjid ini adalah salah satu
masjid bersejarah yang dilindungi oleh UU Monumen (Monumen Ordonantie Stbl)
No.238 tahun 1931, juga diperkuat oleh SK Gubernur KDKI Jakarta tanggal 10
Januari 1972. Bangunannya cukup menarik karena memperlihatkan perpaduan dari
berbagai gaya
arsitektur. Ada gaya Banten kuno dan Cina, juga pengaruh
Hindu.
Atapnya berbentuk
cungkup bersusun dua model arsitektur khas Cina, dengan ujung cungkup (nok)
berbentuk kuncup melati---tertempel bekas horn sirine kecil. Bentuk
jurai/sopi-sopi di masing-masing atapnya membengkok di bagian ujung bawah. Dan
di keempat ujung jurai-nya, bercuping seperti bunga terompet. Bentuk list-plang
kayunya bermotif ombak dengan bonggol kuncup melati terbalik di setiap
sudutnya. Sedang model kusen pintu--berdaun dua, seperti lumpang terbalik
bermotif ukir-ukiran di bagian bawah dan atas pintu.
Di halaman belakang
masjid ini terdapat beberapa makam. Diantaranya adalah makam dengan nisan
bertuliskan Syekh Ja'far--tidak diketahui asal-usulnya. Disebelahnya terletak
juga 3 buah cungkup dengan nisan bertuliskan huruf Cina. Tapi ada satu makam
yang cukup jelas menunjukkan tentang sosok seorang yang dikuburkan di situ.
Makam itu milik almarhum Syekh Syarif Hamid Al Qadri (di timur masjid), yang
dikenal sebagai pangeran dari Kesultanan Pontianak, Kalimantan Barat. Tahun
1800-an, beliau ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Batavia ,
hingga kemudian wafat di Batavia .
Tertulis pada nisannya, "meninggal dalam usia 64 tahun 35 hari pada tahun
1274 H atau 1854 masehi.
Seorang ahli sejarah
berkebangsaan Belanda yang mengadakan penelitian tentang masjid ini, DR.
F.Dehaan, dalam bukunya "Oud Batavia" menuliskan bahwa Masjid
Angke Al Anwar didirikan pada hari Kamis 26 Sya'ban 1174 atau 2 April 1761.
Dehaan juga menulis bahwa konon masjid ini didirikan oleh seorang wanita Cina
dari suku Tarta yang menikah dengan seorang pria Banten. Kisah itu didapatkan
oleh Dehaan melalui cerita dari mulut ke mulut penduduk sekitar Angke ketika
itu.
Seperti halnya
masjid-masjid yang didirikan pada masa perjuangan, masjid ini pun dijadikan
sebagai basis perjuangan masyarakat sekitar masjid setelah proklamasi kemerdekaan.
Aksi perjuangan itu terutama dipelopori oleh para ulama Angke, yang mengobarkan
semangat kepada para pemuda Angke. Rapat-rapat rahasia yang sering dilakukan di
masjid itu tak pernah tercium oleh pihak Belanda. Sehingga dalam
perkembangannya, bangunan Masjid Angke Al Anwar tidak sedikitpun tergores oleh
peluru Belanda, tidak seperti Masjid Al Mansur di Sawah Lio.
Tapi sayang mungkin
karena lebih mengutamakan fungsinya, penambahan-penambahan sarana di
pelatarannya membuat masjid terlihat kumuh. Bagian dalam pun demikian, jauh
dari kesan bersih. Banyak tukang air yang bertiduran di dalam masjid----di luar
pagar adalah hidran PAM untuk umum. Keberadaannya yang berada disekeliling
pemukiman padat model MHT, menguatkan kesan seperti tersembunyi dibalik hiruk-pikuk
aktivitas masyarakat sekitar.
Masjid Angke Al Anwar
persisnya terletak di Jalan Pangeran Tubagus Angke, Gang Masjid I Rt. 001 Rw.
05, Kelurahan Angke. Dari Terminal Bus Grogol ada beberapa angkutan yang bisa
mengantar ke lokasi. Carilah angkutan ke arah Pluit atau Jembatan Tiga. Lalu
turun di Fly-Over Jembatan Dua, Jalan DR. Latumeten. Lebih dekat lagi
jika menggunakan KA Jabotabek, turun saja di Stasiun Angke.
Masjid Jami Al-Islam (1770)
Petamburan,Jakarta
Pusat
Petamburan,
|
Daearah Tanah Abang zaman baheula dan sekarang tak jauh
berbeda. Dilihat dari komposisi penduduk maupun aktivitas perekonomiannya
sama sekali tak berubah jauh. Sejak awal abad ke 17 hingga sekarang, di Tanah
Abang berkumpul masyarakat dari berbagai macam suku dan bangsa. Ada Arab,
|
Di tempat inilah
kemudian terjadi kawin campur dan akulturasi serta interaksi sosial dengan
segala plus-minusnya.
Sedang dari segi
aktivitas ekonomi, juga tak ada perubahan. Cap sebagai pusat perdagangan tetap
melekat sampai sekarang. Alkisah pada akhir abad ke 18 masehi, datanglah
seorang bangsawan ulama dari wilayah Minangkabau, Sumatra Barat. Ia bergelar
Sultan Raja Burhanuddin Syekh Al-Masri. Kedatangannya ke daerah Tanah Abang
dimaksudkan untuk sekedar melongok pusat perdagangan di Batavia yang kesohor hingga ke Minang itu.
Sultan Raja Burhanuddin ingin menyaksikan sendiri, mengapa pasar itu mampu
menyedot minat pedagang-pedagang dari kampungnya.
Disebutkan, perjalanan
Sultan Raja Burhanuddin yang semula adalah 'plesiran' biasa berubah menjadi
perjalanan bermisi dakwah. Dari pengamatannya sekilas atas aktivitas
orang-orang Minang di Pasar Tanah Abang, Sultan Raja Burhanuddin menyimpulkan
bahwa para pedagang dari kampungnya saat itu jauh dari agama. Mereka, karena
kesibukan dagangnya, seringkali lupa menunaikan sholat dan tak pernah tersentuh
dakwah. Letak masjid yang cukup jauh dari pasar, membuat mereka enggan datang
ke masjid.
Sejak itu Sultan Raja
Burhanuddin langsung berinisiatif mendirikan masjid yang cukup mudah dijangkau
dari lokasi pasar dan pemukiman masyarakat pedagang di Tanah Abang. Dengan
dibantu oleh berbagai pihak, berdirilah kemudian di tahun 1770 Masjid Jami
Al-Islam---yang karena perkembangan wilayah kini berada di Jalan KS Tubun 61,
Petamburan, Jakarta Pusat. Dalam perjalanan tahun-tahun berikutnya Masjid Jami
Al -Islam kemudian dipimpin oleh seorang ulama asal Hadramaut, Yaman Selatan
berjuluk Habib Usman.
Dalam melancarkan
dakwahnya Habib Usman banyak dibantu oleh dua orang kepercayaannya, yakni Haji
Saidi dan Haji Muala yang asli Betawi Petamburan. Hingga tahun '20-an, dari
tiga orang ulama Petamburan itu, yang tersisa kemudian hanya tinggal Haji
Muala. Sejak itu aktivitas dakwah di wilayah Petamburan dilakukan sendirian
oleh Haji Muala yang juga menjabat sebagai Kepala Takmir Masjid Jami Al-Islam.
Tahun 1925 mendahului ikrar penggunaan bahasa Indonesia pada "Sumpah
Pemuda" 1928, Haji Muala sudah merintis pemakaian bahasa Melayu dalam
khotbah Jum'at di Masjid Jami Al-Islam.
Terobosan baru Haji
Muala itu, sempat mendapat kecaman dari sesama ulama tradisional di wilayah
Petamburan. Maklum saja, sebab di masa itu di seluruh wilayah Batavia (Betawi) semua masjid menggunakan
bahasa Arab sebagai bahasa pengantar khotbah Jum'at. Meski dicap sebagai masjid
yang melakukan bid'ah, Haji Muala tak bergeming. Yang terpikir di benaknya
ketika itu hanyalah bagaimana caranya agar dakwah Islam bisa cepat diterima
oleh alam pikiran masyarakat Melayu.
Polemik panjang antara
Haji Muala dengan para ulama itu, terdengar sampai ke kuping Pemerintah Hindia
Belanda. Akibatnya Haji Muala digiring ke Kantor Polisi Belanda (HofdBureau)
untuk dimintai keterangan, dan diminta untuk menuruti keinginan para ulama.
Walaupun dilarang Haji Muala tetap saja dengan keputusannya. Tapi anehnya,
banyak masjid di sekitar Tanah Abang hingga seluruh wilayah Betawi
beringsut-ingsut mengikuti jejak Masjid Jami Al-Islam menerapkan bahasa Melayu.
Sikap nasionalis yang
ditunjukkan Haji Muala tidak berhenti sampai disitu. Masjid yang memiliki model
jendela lengkung di berandanya ini dijadikan sebagai basis perjuangan-biasa
disebut sebagai tempat Kaum Republiken, melawan Belanda. Di masjid inilah para
jampang di Petamburan dan Tanah Abang sering berkumpul membicarakan pergerakan.
Masjid dengan
kubah--kini terbungkus aluminium, berbentuk bulat beralaskan atap model loteng
mini berventilasi ini mudah dicirikan. Ada
makam di bagian kiblatnya, persis menghadap ke sebuah lapangan kecil dan Jl. KS
Tubun. Makam itu antara lain, di sebelah kanan bercungkup batu adalah makam
para pendiri masjid. Sedang di sisi kiri, makam Tengku Radja Sabaroeddin dan
keluarganya.
s Yang terakhir ini,
disebut-sebut sebagai kakek dari pengacara tenar Adnan Buyung Nasution---yang
sekarang rajin membersihkan, menziarahi dan merenovasi masjid ini. Masjid
Al-Islam berada di sebelah timur RS Pelni dari arah perempatan Slipi. Baik dari
arah Pasar Tanah Abang maupun Slipi, masjid ini mudah dijangkau oleh sarana
transportasi yang siap mengantarkan Anda. Tapi agak sulit juga mencari masjid
ini kalau mata tidak awas, karena terhalang oleh sebuah halte persis di muka
masjid dan di depan RS Pelni.
Masjid Jami Al-Barkah (1818)
Bangka,Jakarta
Selatan
Bangka,
|
Sudah menjadi bukti sejarah kalau wilayah Jakarta Utara dan Jakarta
Timur, adalah daerah yang begitu banyak memiliki bangunan bersejarah. Dua
daerah ini pada masa kolonial adalah daerah yang dipilih sebagai pusat
aktivitas ekonomi maupun sosial oleh pemerintah maupun sipil Belanda. Maka
tak heran di
|
bekas kantor, benteng
pertahanan, atau kediaman pembesar Belanda. Kalau ada rumah besar, biasanya ada
pula pemukiman pribumi di sekitarannya. Lalu dimana ada pemukiman pribumi,
umumnya pasti ada tempat ibadah berupa masjid atau langgar kecil.
Tapi siapa sangka kalau
di daerah Bangka ternyata ada juga sebuah
masjid tua yang dibangun pada awal abad ke 19. Padahal di tahun-tahun itu, Bangka termasuk daerah pedalaman. Tapi mungkin saja,
karena bisa jadi Bangka berdekatan dengan Blok
M. Wilayah elit yang dirancang oleh dan untuk orang-orang Belanda ketika itu.
Dan memang sejak abad ke 18 pun pembukaan daerah-daerah baru sudah dilakukan
hingga ke selatan Batavia .
Ada Kebayoran Lama, Condet, Cilandak bahkan hingga ke Depok sekarang.
DI Bangka, tepat di
pertengahan Jalan Kemang Utara pertigaan Jalan Kemang Timur, di situ terdapat
sebuah masjid dengan atap joglo mirip bangunan Masjid Demak. Masjid itu adalah
Masjid Jami Al Barkah yang didirikan tahun 1818 oleh seorang yang disebut Guru
Sinin. Guru Sinin ini diyakini sebagai wali yang berasal dari Banten. Tapi
sesungguhnya yang ada sekarang bukan bangunan asli seperti pertama kali
dibangun tahun 1818. Replika masjid ini awalnya beratapkan rumbia dengan tiang
penyangga dari batang kelapa berdinding papan.
Lokasi masjid saat itu
pun bukan merupakan tanah matang. Dahulunya daerah berawa-rawa dengan kedalaman
satu meter. Kemudian pada tahun 1932 pemugaran masjid secara permanen mulai
dilakukan. Penggunaan material modern pun mulai dipakai, seperti bahan semen,
genteng, batu bata dan lain sebagainya. Mulai tahun 1935, lalu 1950, 1960 dan
1970 bentuk fisik masjid sudah banyak mengalami perubahan. Ada penambahan-penambahan bangunan lain di
sekitar masjid. Misalnya teras dan pagar dalam, juga pembuatan menara pendek
setinggi kurang lebih 15 meter di muka masjid.
Sejak tahun 1985
tampilan masjid bertambah cantik, apalagi dengan dipakainya bahan keramik untuk
lantai dan eternit untuk langit-langitnya. Sebagaimana masjid tua lainnya,
Masjid Jami Al Barkah juga meninggalkan jejak sejarahnya. Di bagian barat
masjid terdapat makam-makam tua yang salah satunya merupakan makam dari Guru
Sinin yang wafat tahun 1920. Juga ada makam menantu dan cucu Guru Sinin,
KH.Ridi yang wafat tahun 1933 dan KH Naisin yang hidup hingga usia 132 tahun.
Sebagai tetua di Bangka , Guru Sinin dikenal
pula sebagai orang yang memiliki ilmu kanuragan. Di hari-hari tertentu
makam-makam tua itu masih didatangi para peziarah.
Masjid Jami Matraman (1837)
Pegangsaan,Jakarta
Pusat
Pegangsaan,
|
Sudah jadi kebiasaan masyarakat Melayu tempo dulu di
Kata Mester, kala itu sebenarnya |
terucap untuk
menyebutkan sebuah tempat dimana seorang pejabat Belanda tinggal di daerah
itu--tanahnya membentang dari Salemba sampai daerah Jatinegara. Orang itu biasa
dipanggil Meester Cornelis. Maka orang-orang Betawi yang ingin bepergian ke
tempat itu menyebutnya, Mester.
Satu lagi yang juga
masih berdekatan dengan wilayah Mester adalah daerah Matraman. Konon daerah ini
merupakan pusat komunitas mantan prajurit-prajurit Kerajaan Mataram, Yogyakarta . Banyak dari sebagian prajurit yang diutus
Sultan Agung untuk menyerang VOC pimpinan Jan Pietersen Coen di Batavia, memilih
tetap tinggal di Batavia
setelah gagal merebut pusat pemerintahan kolonial itu. Diduga prajurit-prajurit
itu bukan tentara reguler, melainkan para relawan dari golongan masyarakat
biasa di Mataram sana .
Jadi karena di daerah
itu banyak orang-orang dari Kerajaan Mataram, orang Melayu di Batavia menyebutnya Matraman. Dari asal kata
Mataraman, yang artinya tempat orang-orang Mataram. Sebagai anggota masyarakat
dari sebuah kerajaan Islam, tentunya tingkat religiusitas mereka juga tidak
diragukan lagi. Ini terbukti, di masa-masa awal mendiami daerah itu awal abad
18 mereka langsung mendirikan tempat ibadah. Tempat yang menjadi cikal bakal
berdirinya Masjid Jami Matraman sekarang.
Pada tahun 1837 dua
orang generasi baru keturunan Mataram yang lahir di Batavia, H. Mursalun dan
Bustanul Arifin, memelopori pembangunan kembali tempat ibadah itu. Setelah
selesai pembangunannya, dahulu masjid ini diberi nama Masjid Jami' Mataraman
Dalem. Yang artinya masjid milik para abdi dalem (pengikut) kerajaan Mataram.
Dipilihnya nama itu dimaksudkan sebagai penguat identitas bahwa masjid itu
didirikan oleh masyarakat yang berasal dari Mataram. Dan memang terbukti hingga
kini masjid itu disebut dengan Masjid Jami Matraman.
Melihat tampilan
arsitekturnya, Masjid Jami Matraman dipengaruhi oleh gaya
dari Mekah dan India .
Sebagai seorang yang menyandang gelar haji pada masanya, H. Mursalun
terkagum-kagum dengan bangunan Masjidil Haram dan Taj Mahal. Dua ciri kuat dari
arsitektur kedua masjid itu adalah, bentuk beranda yang menggunakan pilar-pilar
tipis dengan profil melengkung-lengkung diantaranya. Lalu bentuk kubah yang
bulat bundar serta menara disamping masjid. Hal inilah yang juga kelihatannya
diterapkan pada Masjid Jami Matraman.
Penggunaan masjid
secara resmi dikukuhkan oleh Pangeran Jonet dari Kasultanan Yogyakarta, yang
merupakan keturunan langsung dari Pangeran Diponegoro. Sholat Jum'at pertama di
Masjid Jami Matraman itu juga dipimpin sendiri oleh Pangeran Jonet. Sejak itu
hingga masa-masa pergerakan, Masjid Jami Matraman diramaikan oleh berbagai
aktivitas keagamaan. Karena letaknya yang berdekatan dengan kantong-kantong
pergerakan pemuda-daerah Pegangsaan dan Kramat, masjid ini sempat juga
dicurigai sebagai tempat memupuk gerakan anti kolonial.
Maka pada tahun 1920,
pemerintah kolonial Hindia Belanda berniat membongkar Masjid Jami Matraman.
Setelah sebelumnya memanggil beberapa tokoh masyarakat dan ulama sekitar masjid
ke HofdBureau--semacam kantor polisi zaman itu. Peristiwa itu
membangkitkan amarah masyarakat sekitar Masjid Jami Matraman. Dipimpin langsung
oleh H. Mursalun dan Bustanul Arifin yang ketika itu telah berusia lebih dari
seabad, masyarakat sekitar menggalang kekuatan dan mengadakan mobilisasi massa .
Rupanya reaksi keras
dari masyarakat itu menciutkan nyali pemerintah Belanda untuk membongkar
masjid. Bahkan untuk mengambil hati dan simpati, tahun 1923, pemerintah Hindia
Belanda ikut membantu renovasi bagian yang rusak dari Masjid Jami Matraman yang
sekarang berada di Jalan Matraman II No. 1 Rt. 008/04 Kel. Pegasangsaan Kec.
Menteng, Jak-Pus.
Tidak sulit mencari
lokasi masjid ini. Letaknya yang berdekatan dengan perempatan
Matraman--perpotongan empat jalan raya yakni Jalan Matraman Raya, Pramuka,
Salemba dan Matraman, dapat dengan mudah dijangkau baik dengan transportasi
umum maupun pribadi. Terminal bus Kampung Melayu atau Pasar Senen dapat dipilih
sebagai alternatif. Sebelum Jalan Tambak dan setelah Kali Ciliwung dari arah
Jalan Raya Matraman, sedikit ke Selatan sudah tampak bangunan Masjid Jami
Matraman.
Masjid Al-Makmur (1840)
Cikini,Jakarta
Pusat
Cikini,
|
Masjid Al Makmur yang terletak di jalan Raden Saleh No.30 Jakarta
Pusat, dan didirikan tahun 1840 ini diduga kuat dibangun atas andil almarhum
Raden Saleh yang ketika itu tengah membangun rumah di daerah Cikini. Lokasi
rumah dan tanah masjid itu kini adalah areal kompleks RS Cikini, yang dahulu
disebut
|
milik Koningen Emma
Stichting (Yayasan Ratu Emma).
Kisahnya, usai
berkeliling Eropa memperdalam ilmu lukisnya, pria berkumis melintang bernama
lengkap Raden Saleh Syarif Bustaman ini kembali ke Hindia Belanda. Raden Saleh
kemudian membeli sebidang tanah yang luas di daerah Cikini. Mulai dari pinggir
Kali Ciliwung hingga ke barat. Di tanah itu dibangunlah sebuah rumah besar dan
beberapa paviliun. Syahdan setelah mempersunting seorang gadis asal Bogor , Raden Saleh berniat hijrah ke kota hujan itu.
Namun sebelum pindah
Raden Saleh mewakafkan sebidang tanahnya untuk dibangun masjid dan menjual
rumah termasuk seluruh tanah miliknya--tidak termasuk tanah masjid yang ada di
belakang kompleks rumah. Masjid yang dibangun atas andil Raden Saleh itu
hanyalah masjid berbentuk sederhana. Berdinding bilik dengan bentuk seperti
rumah panggung.
Pembeli rumah dan tanah
itu adalah seorang tuan tanah kaya kondang keturunan Arab di daerah itu,
ber-fam Alatas. Dulu sebelum menjadi Jalan Raden Saleh, wilayah Cikini disebut
orang sebagai Alatas
Land . Mengira bahwa tanah
wakaf itu adalah bagian dari tanah yang dibeli oleh orangtuanya, salah seorang
pemegang hak waris tanah itu Sayid Salim Ismail Salam bin Alwi Alatas, menjual
kembali tanah itu kepada Koningen Emma Stichting (Yayasan Ratu Emma).
Yayasan misionaris
milik orang Belanda itu bergerak di bidang pelayanan sosial, agama, dan
pelayanan kesehatan. Merekalah yang membangun Rumah Sakit Cikini sekarang.
Sebagai organisasi penyebar agama, tentu saja mereka merasa gerah dengan
keberadaan sebuah masjid di dekat mereka. Meski sebenarnya tanah masjid itu
bukan termasuk tanah milik mereka. Yayasan bersikeras ingin merobohkan masjid.
Atas aksi itu jamaah masjid bereaksi dan memutuskan untuk memindahkan masjid ke
lokasi lain.
Tahun 1890 tercatat
sebagai tahun ketika masjid itu dipindahkan secara gotong-royong dengan diusung
beramai-ramai oleh masyarakat sekitar. Tanah yang dipilih sebagai lokasi baru
adalah tanah milik Sayid Ismail Salam bin Alwi Alatas yang lain----lokasi
masjid sekarang. Kemudian hingga tahun 1923, rupanya pihak Koningen Emma
Sticthing masih merasa gerah dengan keberadaan masjid yang beberapa ratus
meter saja jaraknya dari tempat mereka. Mereka menuntut agar masjid itu
dipindahkan ke lokasi yang lebih jauh.
Namun, kontan saja
keinginan itu dibalas dengan reaksi keras dari masyarakat Islam Betawi di
sekitar Cikini. Disebutkan aksi penentangan itu disokong pula oleh tokoh-tokoh
pergerakan nasional seperti HOS Cokroaminoto, H. Agus Salim, KH. Mas Mansyur
dan Abi Koesno Cokro Soeyono. Bukannya dipindahkan, atas saran tokoh-tokoh
tadi, tahun 1924 masjid justru dipugar dengan arsitektur yang lebih megah.
Menurut penuturan, pembangunan itu dimaksudkan agar masjid setara dengan
gereja-gereja yang ada ketika itu. Hilangnya kesan kumuh dan miskin itulah yang
diinginkan H.Agus Salim cs.
Yang unik, waktu itu
sebagai upaya menjaga diri dari campur tangan langsung Pemerintah Belanda,
setiap sholat Jum'at masing-masing jamaah membawa sebilah golok ketika sholat.
Tahun 1929 bangunan masjid semi-permanen secara resmi telah dapat digunakan
untuk beribadah. Untuk memberikan penghargaan kepada tokoh-tokoh yang
sebagiannya merupakan aktivis Sarikat Islam (SI) dan Masyumi itu, pada kubah di
menara masjid dan di list-plang muka masjid ditorehkan lambang bintang dan bulan
sabit.
Tahun 1935 pembangunan
seluruh masjid selesai, dan diberi nama sebagai Masjid Al Makmur.Dan sejak itu
masjid dengan atap bersusun dua itu dijadikan sebagai pusat segala aktivitas
umat Islam masa itu. Tapi tahun 1964, keberadaan masjid ini kembali mendapat
gugatan. Kali itu, ketenangan beribadah kaum muslimin di sekitar Masjid Al
Makmur diganggu oleh Kementrian Agraria
RI yang menerbitkan SK hak milik
berupa sertifikat tanah atasnama Dewan Gereja Indonesia (DGI).
Dalam sertifikat itu
disebutkan bahwa tanah di sekitar masjid-- termasuk tanah yang di atasnya
dibangun masjid itu, diklaim milik DGI. Padahal di tahun yang sama, Masjid Al
Makmur telah berbadan hukum berbentuk Yayasan Masjid Al Makmur bernomor akta
notaris 13, tertanggal 8 Juli 1964 dengan notaris Adasiah Harahap. Badan
pendirinya, disebutkan adalah Sukaryo Mustafa seorang pedagang yang bertempat
tinggal di jalan Cisadane, ada Kamil Cokroaminoto---keturunan HOS Cokroaminoto,
lalu H. Abdul Karim Naiman, seorang pegawai negeri yang sekarang anaknya -H.
Sabihun Naiman, menjadi ketua pengurus Masjid Al Makmur.
Aksi penyerobotan itu
rupanya (lagi-lagi) dirancang oleh pihak Koningen Emma Stichting, yang
mensertifikatkan tanah itu atasnama DGI secara diam-diam. Sertifikat itu
didaftarkan kepada Kementrian Agraria---yang ketika itu dirangkap oleh PM
J.Leimena yang juga sekaligus Direktur RS Cikini, dan dinyatkan secara sah
milik DGI. Sampai tahun 1970-1975, pihak rumah sakit tetap bersikeras
menyatakan bahwa tanah masjid adalah bagian dari kompleks rumah sakit.
Tahun 1991 atas andil
Gubernur KDKI Wiyogo Atmodarminto-setelah sebelumnya tahun '89-'90 diupayakan
jalan damai dibantu Walikota Jak-Pus Abdul Munir, sertifikat tanah 'aspal'
milik DGI tidak diakui. Dengan demikian masjid dinyatakan sah milik Yayasan
Masjid Al Makmur. Dua tahun kemudian, 1993, Masjid Al Makmur ditetapkan sebagai
Bangunan Bersejarah dan dilindungi oleh UU Monumen Sejarah.
Penasaran ingin
melongok masjid yang sudah dipugar dua kali (1978 dan 1980) oleh Dinas
Purbakala Kanwil Depdikbud ini ? Gampang, Pasar Senen, Kampung Melayu atau
Stasiun KA Jabotabek Cikini bisa dipilih sebagai titik awal mencari Masjid Al
Makmur yang sekarang dikelilingi oleh 7 gereja itu.
Masjid Agung Al Azhar (1952)
Kebayoran Baru,Jakarta
Selatan
Kebayoran Baru,
|
Masjid putih berarsitektur indah ini dibangun pada tahun 1952.
Tokoh-tokoh pendirinya adalah Mr. Soedirjo, Mr. Tanjung Hok, H.Gazali dan H.
Suaid. Masjid yang awalnya diberinama Masjid Agung Kebayoran Baru ini
dibangun selama enam tahun (1952 - 1958) dan berdiri di atas lahan seluas
43.756 m2. Ketika itu peletakan batu pertamanya dilakukan oleh R. Sardjono
mewakili walikota Jakarta Raya.
|
Perubahan nama menjadi
Masjid Agung Al Azhar Kebayoran Baru, dilakukan menyusul kedatangan seorang
tamu yang adalah Rektor Universitas Al Azhar, Syekh Muhammad Saltut. Disebutkan
karena terkagum-kagum dengan kemegahan masjid di negara yang ketika itu baru
saja merdeka, Saltut memberi nama masjid Agung Kebayoran Baru dengan nama
Masjid Agung Al Azhar, Kebayoran Baru.
Imam besar pertama
masjid itu adalah Prof.DR. Haji Muhammad Abdul Karim atau yang lebih dikenal
sebagai Hamka. Hamka pula yang mentradisikan aktivitas kuliah subuh, pegajian
hari Ahad, dan kuliah Ramadhan di masjid ini. Tahun 1967, diatas lahan yang
masih tersisa di sebelah utara didirikan pula sarana-sarana pendidikan Al
Azhar, mulai dari TK dan SD Islam sampai SMAI. Dan sekarang sulit membedakan
mana yang lebih dikenal, masjid-nya atau sekolahnya.
Tapi yang pasti
kegiatan Majelis Taklim, Kursus Kader Mubaligh, Studi Islam, Kursus bahasa dan
dakwah di Masjid Al Azhar sangat terbuka menerima jamaah dari daerah lain.
Kuliah subuh di masjid yang berdekatan dengan Terminal Bus Blok M ini
seringkali mendatangkan pembicara-pembicara berbobot dan terbuka bagi siapa
saja yang ingin mendengarkan.
Masjid Istiqlal (1961)
Gambir,Jakarta
Pusat
Gambir,
|
Taman Wilhelmina di depan Lapangan Banteng, tahun 1950. Sepi, gelap,
kotor dan tak terurus. Tembok-tembok bekas bangunan benteng di taman itu
penuh dengan lumut dan tanaman perdu, dengan ilalang tinggi dimana-mana.
Tahun 1960, di tempat yang sama, sekitar 50.000 orang, dari masyarakat biasa,
pegawai negeri, alim ulama, sampai
|
ABRI bekerja bakti
membersihkan taman tak terurus di bekas benteng penjajah itu.
Setahun kemudian,
tepatnya 24 Agustus 1961, seolah menjadi tanggal yang paling bersejarah bagi
kaum muslimin di Jakarta khususnya, dan Indonesia
umumnya. Untuk pertama kalinya, di bekas taman itu, kota
Jakarta
memiliki sebuah masjid besar. Sebuah masjid yang dimaksudkan menjadi simbol
kemerdekaan bagi bangsa Indonesia .
Yang kemudian sengaja dicari padanan katanya dalam bahasa Arab, dan disepakati
diberi nama Istiqlal. Jadilah, Masjid Istiqlal namanya.
Tanggal yang bertepatan
dengan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW itu, dipilih sebagai momen
pemancangan tiang pertama oleh Presiden I RI, Ir. Soekarno yang ketika itu
langsung bertindak sebagai Kepala Bidang Teknik. Dan sejak itu-dengan beberapa
kali pergantian kepanitiaan, terhitung hingga hampir 10 tahun lamanya Masjid
Istiqlal baru rampung pembangunannya.
Adalah KH. Wahid Hasyim-Menteri
Agama RI
pertama sekaligus ayahanda Presiden Abdurrahman Wahid, yang melontarkan ide
pembangunan masjid itu. Tahun 1950 bersama-sama dengan H. Agus Salim, Anwar
Tjokroaminoto dan Ir. Sofwan beserta sekitar 200-an orang tokoh Islam pimpinan
KH. Taufiqorrahman ide itu kemudian dilembagakan dengan membentuk Yayasan
Masjid Istiqlal.
Gedung Deca Park di
Lapangan Merdeka---- kini Jalan Medan Merdeka Utara di Taman Moseum Nasional,
menjadi saksi bisu atas dibentuknya Yayasan Masjid Istiqlal yang dikukuhkan
oleh notaris Elisa Pondang, 7 Desember 1954. Setahun sebelumnya, Ir. Soekarno
menyanggupi untuk membantu pembangunan masjid, bahkan memimpin sendiri
penjurian sayembara desain maket masjid. Setelah melalui beberapa kali sidang,
di Istana Negara dan Istana Bogor, dewan juri yang terdiri dari Prof.Ir.
Rooseno, Ir.H. Djuanda, Prof.Ir. Suwardi, Hamka, H. Abubakar Aceh dan Oemar
Husein Amin akhirnya pada 5 Juli 1955 memutuskan desain atasnama Silaban
dinyatakan sebagai model dari Masjid Istiqlal.
Terbawa iklim politik
dalam negeri yang cukup memanas, proyek ambisius itu---karena berbarengan
dengan pembangunan monumen lain seperti Gelora Senayan, Monas,dsb,
tersendat-sendat pembangunannya. Hingga pertengahan tahun '60-an proyek Masjid
Istiqlal terganggu penyelesaiannya. Puncaknya ketika meletus peristiwa G 30
S/PKI tahun '65 - '66, pembangunan Masjid Istiqlal bahkan terhenti sama sekali.
Barulah ketika Himpunan
Seniman Budayawan Islam memperingat miladnya yang ke-20, sejumlah tokoh, ulama
dan pejabat negara tergugah untuk melanjutkan pembangunan Masjid Istiqlal.
Dipelopori oleh Menteri Agama KH. M. Dahlan upaya penggalangan dana mewujudkan
fisik masjid digencarkan kembali. Presiden Soekarno, yang pamornya di mata
masyarakat mulai luntur, kedudukannya dalam kepengurusan diganti oleh KH. Idham
Chalied yang bertindak sebagai koordinator panitia nasional Masjid Istiqlal
yang baru.
Lewat kepengurusan yang
baru, masjid dengan arsitektur bergaya modern itu selesai juga pembangunannya.
Dilihat dari arsitekturnya, karena dimaksudkan sebagai masjid besar yang
berdaya tampung banyak, Masjid Istiqlal menerapkan prinsip minimalis.
Ruang-ruang terbuka/plaza di kiri-kanan bangunan utama dengan tiang-tiang lebar
diantaranya, mungkin dimaksudkan oleh perancangnya untuk memudahkan sirkulasi
udara dan penerangan yang alami.
Sekarang, masjid seluas
4 hektare ini semarak dengan aktivitas dan organisasi ke-Islaman di
dalamnya---ada Dewan Masjid Asia dan Lautan Teduh, MUI, Dewan Masjid Indonesia,
Pusat Perpustakaan Islam Indonesia, LPTQ dan BP 4 Pusat. Bahkan diatas lahan
seluas 9,5 hektare disekelilingnya, sebagian dipergunakan untuk kegiatan
ekonomi-warung makan, souvenir, dsb.
Untuk mencapai ke
lokasi masjid berdaya tampung 100.000 orang ini cukup banyak alternatif
transportasi yang bisa dipakai. Di sebelah utara masjid berjarak 500 meter, ada
stasiun KA Jabotabek Juanda. Sedikit ke timur-sekitar 1 kilometer, pusat
perbelanjaan Pasar Baru. Atau bisa juga turun di Gambir yang terletak di
selatan masjid.
Masjid Agung Sunda Kelapa (1969)
Menteng,Jakarta
Pusat
Menteng,
|
Meletusnya peristiwa G 30 S/PKI tahun 1965
ternyata banyak memberi pelajaran berharga. Sejak peristiwa menggemparkan
itu, orang makin menyadari pentingnya agama. Banyak masyarakat di Ibukota
merindukan kembali ke suasana kehidupan yang lebih Islami. Setidaknya itulah
menurut pengamatan H.M. Kasasi, salah seorang pengurus harian Masjid Agung
Sunda Kelapa, Menteng, yang juga menjadi saksi atas berdirinya salah satu
masjid bergengsi di
|
Terlebih masyarakat
Menteng, menurut Kasasi, juga merasakan hal demikian. Daerah Menteng, siapa
yang tak kenal daerah ini. Dahulu tempat ini adalah tempat paling
bergengsi---sampai sekarang pun masih. Pejabat, penggede, pengusaha kaya, para
jenderal banyak memilih tinggal didaerah ini. Tahun 1965, di beberapa lokasinya
bahkan tercatat sebagai tempat paling berdarah menurut sejarah. Tujuh jenderal
diculik dan tewas terbunuh.
Pencetus berdirinya
Masjid Agung Sunda Kelapa, menurut Kasasi, adalah Alamsyah Ratu Prawiranegara
yang ketika itu masih bertugas di Sekneg. Mewakili masyarakat Menteng, Alamsyah
memandang daerah itu perlu memiliki sebuah masjid besar-ketika itu tidak ada
satupun masjid berada di wilayah itu. Lalu di tahun 1966 sudah mulai terbentuk
susunan kepanitiaan pembangunan masjid dengan ketuanya H.BR. Motik.
Di tahun yang sama
rombongan panitia itu kemudian menemui Gubernur Ali Sadikin, setelah sebelumnya
bertemu dengan Pangdam V Jaya, Jenderal Amir Mahmud dan Jenderal A.H. Nasution.
Mereka menyampaikan keinginan agar gedung BAPPENAS bisa dialihkan menjadi
bangunan masjid, Masjid Raya Menteng. Tapi ketika itu pemerintah dengan Kabinet
Ampera-nya, ternyata masih membutuhkan gedung itu--sampai sekarang masih
dipakai.
Kemudian kepada Ali
Sadikin, panitia meminta izin agar lokasi Stadion Menteng atau lapangan Taman
Sunda Kelapa dapat dijadikan sebagai lokasi masjid itu. Menyetujui permohonan
itu, Ali Sadikin justru meminta panitia untuk memilih salah satunya. Tentu bisa
ditebak, lapangan Taman Sunda Kelapa lah yang kemudian dipilih. Maka akhirnya
pembangunan Masjid Sunda Kelapa pun dimulai, peletakan batu pertamanya
dilakukan tepat pada tanggal 21 Desember 1969.
Sebagai masjid yang berada
di lingkungan elit, tentunya pembangunan masjid juga diperhitungkan secara
matang. Tercatat, Masjid Sunda Kelapa adalah masjid pertama di Jakarta yang menerapkan konsep baru tentang
arsitektur masjid berkelas. Masjid inilah yang pertama kali memadukan konsep
antara aktivitas ibadah, perekonomian dan pendidikan. Yang kemudian diikuti
oleh masjid-masjid lain di Jakarta sampai sekarang. Aktivitas itu diakomodasi
oleh keberadaan lantai yang berbeda. Lantai atas adalah sebagai pusat ibadah
dan dakwah. Lantai bawah, digunakan sebagai aula/tempat resepsi (disewakan),
perkantoran, perpustakaan, ruang rapat, pengislaman dan tempat berwudhu.
Secara umum gaya arsitektur yang diterapkan pada masjid ini tetap
mengikuti gaya
yang berkembang pada masa itu. Berciri modern, praktis dan sederhana dalam
memilih bentuk pintu, jendela, maupun asesoris. Ini bisa dilihat dari bentuk
bangunan yang lebih mengandalkan struktur beton pada pilar, list-plang, dan
atap. Atau model lampu taman, undakan tangga maupun plaza di pintu masuk
utamanya.
Sekarang kalau menyebut
Sunda Kelapa sama artinya dengan gengsi. Masjid ini lebih dikenal karena banyak
pasangan berduit memilih melansungkan acara resepsi di sana , disamping aktivitas remaja masjid-nya
yang juga lumayan bagus. Tak heran masjid yang terletak di belakang (selatan)
gedung BAPPENAS ini dianggap sebagai masjid kelas satu, selain Masjid Biru
Pondok Indah. Anda ingin menengok masjid yang diresmikan oleh Ali Sadikin 31
Maret 1971 ini ? Ada
dua alternatif yang bisa dipakai. Mau dari depan Hotel Indonesia, lalu menunggu
bus di Jalan Imam Bonjol bisa. Dari perempatan Megaria pun mudah.
0 komentar:
Posting Komentar