KETUKAN IMAN
Prof. Arthur
Alison: ''Karena Az Zumar 42''
Namaku Arthur Alison, seorang profesor yang
menjabat Kepala Jurusan Teknik Elektro Universitas London. Sebagai orang eksak,
bagiku semua hal bisa dikatakan benar jika masuk akal dan sesuai rasio. Karena
itulah, pada awalnya agama bagiku tak lebih dari objek studi. Sampai akhirnya
aku menemukan bahwa Al Quran, mampu menjangkau pemikiran manusia. Bahkan lebih
dari itu. Maka aku pun memeluk Islam. Itu bermula saat aku diminta tampil untuk berbicara tentang metode kedokteran spiritual. Undangan itu sampai kepadaku karena selama beberapa tahun, aku mengetuai Kelompok Studi Spiritual dan Psikologis Inggris. Saat itu, aku sebenarnya telah mengenal Islam melalui sejumlah studi tentang agama-agama.
Pada September 1985 itulah, aku diundang untuk mengikuti Konferensi Islam Internasional tentang 'Keaslian Metode Pengobatan dalam Al Quran' di Kairo. Pada acara itu, aku mempresentasikan makalah tentang 'Terapi dengan Metode Spiritual dan Psikologis dalam Al Quran'.
Makalah itu merupakan pembanding atas makalah lain tentang 'Tidur dan Kematian', yang bisa dibilang tafsir medis atas Quran surat Az Zumar ayat 42 yang disampaikan ilmuwan Mesir, Dr. Mohammed Yahya Sharafi.
Fakta-fakta yang dikemukakan Sharafi atas ayat yang artinya, "Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir," telah membukakan mata hatiku terhadap Islam.
Secara parapsikologis, seperti dijelaskan Al Quran, orang tidur dan orang mati adalah dua fenomena yang sama. Yaitu dimana ruh terpisah dari jasad. Bedanya, pada orang tidur, ruh dengan kekuasaan Allah bisa kembali kepada jasad saat orang itu terjaga. Sedangkan pada orang mati, tidak.
Ayat itu merupakan penjelasan, mengapa setiap orang yang bermimpi sadar dan ingat bahwa ia telah bermimpi. Ia bisa mengingat mimpinya, padahal saat bermimpi ia sedang tidur.
Quran surat Az Zumar ayat 42 ini juga menjadi penjelasan atas orang yang mengalami koma. Secara fisik, orang yang koma tak ada bedanya dengan orang mati. Tapi ia tak dapat dinyatakan mati, karena secara psikis ada suatu kesadaran yang masih hidup.
"Bagaimana Al Quran yang diturunkan 15 abad silam, bisa menjelaskan sebuah fenomena yang oleh teori parapsikologis baru bisa dikonsepsikan pada abad ini?" Jawaban atas pertanyaan inilah yang akhirnya meyakinkan aku untuk memeluk Islam.
Selepas sesi pemaparan kesimpulan dalam konferensi itu, disaksikan oleh Syekh Jad Al-Haq, Dr. Mohammed Ahmady dan Dr. Mohammed Yahya Sharafi, akupun menyatakan dengan tegas bahwa Islam adalah agama yang nyata benarnya.
Terbukti, isi Al Quran yang merupakan firman Allah pencipta manusia, sesuai dengan fakta-fakta ilmiah. Kemudian dengan yakin, aku melafadzkan dua kalimat syahadat yang sudah sangat fasih kubacakan. Sejak itu aku pun menjadi seorang Muslim dan mengganti namaku menjadi Abdullah Alison.
Sebagai Ketua Kelompok Studi Spiritual dan Psikologi Inggris, aku telah mengenal banyak agama melalui sejumlah studi yang dilakukan. Aku mempelajari Hindu, Budha dan agama serta kepercayaan lainnya. Entah kenapa, ketika aku mempelajari Islam, aku juga terdorong untuk melakukan studi perbandingan dengan agama lainnya.
Walaupun baru pada saat konferensi di Mesir, aku yakin benar bahwa Islam sebuah agama besar yang nyata perbedaannya dengan agama lain. Agama yang paling baik diantara agama-agama lain adalah Islam. Ia cocok dengan hukum alam tentang proses kejadian manusia. Maka hanya Islam-lah yang pantas mengarahkan jalan hidup manusia.
Aku merasakan benar, ada sesuatu yang mengontrol alam ini. Dia itulah Sang Kreator, Allah Swt. Dari pengalaman bagaimana aku mengenal dan masuk Islam, aku pikir pendekatan ilmiah Al Quran bisa menjadi sarana efektif untuk mendakwahkan Islam di Barat yang sangat rasional itu.
Cindy Claudia
Harahap: "Melihat Bulan Bintang"
Alasanku memilih Islam sebagai agama, sederhana
saja. Itu semata-mata karena panggilan hati nurani. Kuakui, sebelumnya aku
bukanlah penganut Kristen Protestan yang taat. Aku jarang ke gereja dan ikut
kebaktian. Aku menjadi kristen, mungkin karena sejak awal pendidikan formalku
dilalui di sekolah Kristen. Juga karena Papaku, Rinto Harahap, beragama
Kristen. Melalui proses yang panjang, akhirnya aku sampai pada kesimpulan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Aku kagum, bahkan takjub dengan Al Quran. Memang, mengawali semua itu aku memperoleh pengalaman batin yang sangat istimewa. Kapan persisnya aku lupa, yang pasti saat itu masih kuliah di Australia.
Pada suatu malam, bersama sahabatku Tamara Blezinsky, aku tidur-tiduran di tengah taman di depan asrama. Kami memandang langit. Di tengah langit yang hitam pekat, sejurus kami melihat bulan sabit besar dengan terang yang sempurna. Di antara lekuk bulan sabit itu, terdapat sebuah bintang.
Kami merasa cukup familiar dengan simbol itu. Serempak kami berujar, "Itu lambang masjid." Entah bagaimana Allah Swt membuka hatiku, saat itu juga aku tiba-tiba ingin masuk agama Islam. Ketika niat itu kukemukakan pada Tamara, Allah Swt lagi-lagi menunjukkan keagungan-Nya kepadaku. Entah kenapa, Tamara ternyata memiliki maksud yang sama.
Mungkin memang sudah menjadi jalan yang harus kutempuh, aku tak bisa mewujudkan niatku saat itu juga. Hingga pada 1993, saat aku masih sekolah di SMA St. Brigids College Australia, aku berkenalan dengan seorang lelaki. Thoriq Eben Mahmud namanya, seorang muslim keturunan Mesir. Hingga aku pulang ke Jakarta, perkenalan kami berlanjut.
Mas Thoriq -demikian aku biasa memanggilnya- sering berkunjung ke rumahku. Ketika tiba waktu sholat, ia kerap minta izin untuk menunaikan sholat di rumahku. Perlahan tapi pasti, dengan sendirinya aku tertarik untuk mulai belajar sholat. Keinginanku itu, memperoleh bimbingan Mas Thoriq.
Bahkan, di sela-sela obrolan kami, Mas Thoriq kerap menceritakan kisah para Nabi dan sahabat-sahabatnya. Meski saat itu agamaku masih Kristen Protestan, tak sedikitpun Mas Thoriq memaksaku untuk masuk Islam. Semuanya seperti mengalir begitu saja.
Selain dari Mas Thoriq, aku juga mulai mempelajari Islam dari buku-buku yang sengaja kubeli. Tak ketinggalan kubaca terjemahan Al Quran. Setelah melewati semua itulah, hatiku mantap untuk memeluk Islam. Akhirnya kalimat syahadat kulisankan di hadapan seorang guru agama Islam SMA 34 Jakarta. Saat itu, di tempat yang sangat sederhana, sebuah mushola kecil di sekolah itu, aku pun mulai memeluk Islam.
Empat tahun kemudian, tepatnya 4 Juli 1998, aku dan Mas Thoriq menikah. Pada Desember tahun itu juga, untuk pertama kalinya aku menjalankan puasa Ramadhan. Beberapa kali aku sempat lupa, makan sebelum waktu berbuka tiba. Berpuasapun baru pertama kali, Mas Thoriq sudah mengajakku menunaikan umrah. Sejujurnya, saat itu aku ragu dan khawatir. Apalagi aku tengah hamil enam bulan.
Tetapi setelah tiba di Mekah, semuanya berjalan lancar. Bahkan dalam keadaan hamil enam bulan, aku kuat menjalankan umrah dengan tetap berpuasa. Selama umrah aku pasrah berserah diri kepada Allah. Insya Allah bayiku tetap sehat. Ternyata setelah selesai umrah semuanya lancar saja. Alhamdulillah.
Dalam banyak hal, aku memang memulainya dari nol. Sebagai pengalaman pertama, kuakui itu berat meski sangat berkesan. Bayangkan, aku baru mau sholat bila dibarengi teman-temanku sesama muslimah. Bahkan untuk mengenakan mukena pun, aku harus belajar dulu. Apalagi menghafal sejumlah surat dan membaca Al Quran. Untunglah Mas Thoriq telaten membimbingku, sehingga lama-lama lancar dan terbiasa juga.
Aku selalu menampik penilaian bahwa aku berIslam karena menikah dengan Mas Thoriq. Bagiku, ini sebenar-benarnya hidayah Allah Swt, seperti juga ibuku -Lily Kuslolita- yang sejak awal konsisten dengan keIslamannya. Demikian juga satu dari dua orang adikku yang akhirnya memilih Islam.
Legaspi:
"Setelah Selamat dari Maut"
Namaku Legaspi, terlahir pada Desember 1959 dari
sebuah keluarga nelayan miskin di Bicol, sebuah propinsi di Filipina Selatan.
Seperti kebanyakan orang Filipina, aku dibesarkan dalam tradisi dan ritual
Katholik yang kental. Namun semua itu kujalani tanpa keyakinan, melainkan
sebagai sebuah formalitas belaka. Akhirnya kegalauan bathinku memperoleh jawaban dari Islam. Aku pun memutuskan memeluk Islam, setelah mengalami suatu tragedi yang nyaris merenggut nyawaku, membuat aku benar-benar pasrah.
Itu terjadi saat aku tinggal di Jeddah, sebagai pekerja migran demi memperoleh penghasilan yang lebih baik. Pada suatu hari libur, aku pergi memancing. Sendirian, aku berlayar ke tengah menjauhi pantai, dengan sebuah kapal kayu kecil.
Belum lagi aku menurunkan kailku, tiba-tiba sebuah badai menghempas perahuku yang tak seberapa besar itu. Aku terlempar ke laut, sejurus kusaksikan perahuku diombang-ambing seperti buih dalam arus air, di depan mataku perahu itu terbalik dan hancur berkeping-keping.
Meski aku dibesarkan di keluarga nelayan, aku memang tak terlalu pandai berenang. Apalagi di tengah pusaran ombak yang ganas. Dengan susah payah, aku berupaya mendekati pantai. Namun semakin berusaha, aku semakin merasa tak berdaya. Rasanya semakin jauh saja dari tepi pantai. Aku nyaris putus asa untuk bisa sampai ke pesisir dengan selamat.
Sesaat kemudian, sudah tak ada yang bisa kulakukan kecuali berdoa. Dengan sangat, aku sebagai hambaNya memohon supaya diselamatkan. Lamat-lamat, kuikrarkan, "Ya Tuhan..., berilah aku kesempatan hidup lebih lama untuk beramal lebih baik."
Entah bagaimana, tiba-tiba aku merasa memperoleh kekuatan untuk berenang ke tepi. Suatu kejadian yang sangat membekas dalam hidupku, sebuah keajaiban, dan aku selamat! Sebuah pengalaman berjuang melawan badai besar yang mematikan.
Hari-hari pun kujalani lagi. Aku bekerja sebagai kepala koki pada sebuah keluarga kaya, Jamal Jawa. Ikrarku untuk beramal lebih baik saat aku diombang-ambing badai, tak pernah kulupakan. Namun justru itu menimbulkan perang bathin yang hebat. Pasalnya, meski aku seorang Katholik, aku tak pernah benar-benar meyakini ajaran agamaku itu.
Sejak lahir aku telah ditakdirkan menjadi seprang Katholik. Seperti lazimnya, aku ikut merayakan Natal, Paskah dan mengikuti kebaktian setiap minggu. Namun sejujurnya, hati kecilku bertanya-tanya, bagaimana Bible sebagai kitab suci suatu agama -yang diyakini sebagai firman Tuhannya- memiliki berbagai versi.
Bahkan masing-masing versi memiliki perbedaan yang sangat mendasar, namun masing-masing aliran mengklaim kitab dengan versinya sebagai yang paling orisinal. Ini jelas membingungkanku.
Jelas ini menjadi beban. Bagaimana aku bisa mengamalkan suatu agama yang tak kuyakini? "Tuhanku, tunjukkan aku kebenaran, beri aku kebijakan untuk membedakan yang salah dari yang benar. Dan kuatkan aku untuk mengikutinya."
Sejak itu, hatiku merasa terusik setiap mendengar azan berkumandang. Itu selalu memberi pengalaman bathin yang tak bisa kulukiskan dengan kata-kata. Dan terus membekas. Orang mungkin menganggap, suara adzan hanya bikin bising. Tapi justru dengan begitu kupikir ummat Muslim senantiasa diingatkan untuk menunaikan perintah-perintah Tuhannya, tak peduli di tengah kesibukan bisnis sekalipun.
Demikian halnya pengalamanku menyaksikan orang menunaikan ibadah haji. Meninggalkan kesan yang mendalam. Bagiku, berhaji menanamkan filosofi bahwa ummat Muslim adalah satu. Satu dalam persaudaraan, di mana pun mereka tinggal, apa pun bahasa dan warna kulitnya tak memisahkan dan membedakan mereka.
Mereka pun hanya punya satu naskah kitab suci Al Quran, dengan isi dan bahasa yang sama. Setiap orang bisa mempelajari dan memahaminya dengan mudah. Tentu untuk kemudian diamalkan.
Dari situ aku akhirnya sampai pada suatu keyakinan, bahwa Allah telah menunjukkan kebenaran. Membedakannya dari yang salah. Maka pada November 1997, akhirnya kuputuskan untuk memeluk Islam. Bersamaan dengan itu, kuganti namaku menjadi Mustafa. Proses pembelajaranku terhadap Islam, tak pernah berhenti. Aku bergiat di Yayasan Pendidikan Islam di Jeddah untuk terus mempelajari Islam dan bahasa Arab.
Darul Nurbuat:
"Mengobati Kegelisahan"
Sungguh, kalau ingat masa lalu, saya sering
gemetar. Jika ingat dosa-dosa yang saya lakukan, pelupuk mata saya tak kuasa
membendung air mata. Setidaknya berkaca-kaca. Orang melihat kami, para pelawak,
di panggung membikin orang tertawa. Di belakang panggung kami menangis, orang
tidak tahu. Malahan, bakat lawak saya justru terasah oleh kepahitan hidup,
masa-masa menangis yang cukup panjang. Sebelumnya, tak pernah terbayangkan saya akan menenggak minuman keras. Sampai mabuk-mabukan hampir setiap malam. Tak hanya itu, saya pun murtad dari agama Islam, hingga akhirnya saya merasakan Allah Swt menyelamatkan saya. Dan saya kembali kepada Islam.
Selulus dari SMEA, saya sempat menganggur beberapa lama. Padahal saya harus membantu membiayai keluarga. Maklum, sejak usia 3,5 tahun bapak saya sudah meninggal. Saat itu, usia adik bungsu saya baru 35 hari. Terpaksa saya kerja serabutan. Kadang-kadang ikut jadi kernet angkutan umum.
Pada 1970, saya mulai tertarik masuk grup kesenian, di Malang, namanya Anoraga. Awalnya cuma jadi figuran. Setelah setahun saya dipercaya menjadi pemeran utama. Dari situ, saya pindah ke ludruk Wijaya Kusuma II, sebuah grup yang lebih besar. Uangpun mengalir lancar. Apalagi di situ, saya menjadi maskot. Jadi anak emas-lah. Anehnya, berapapun uang yang saya dapat, tak membuat saya bahagia. Saya malah gelisah.
Celakanya, kegelisahan itu saya larikan ke minum minuman keras. Saya biasa minum bersama kawan-kawan di grup ludruk. Biasanya, minuman lokal, bir Cap Kuntul. Kebiasaan itu, membuat saya kacau. Pendapatan yang lumayan itu pun, tak ada bekasnya. Dari situlah saya terbawa pengaruh lingkungan. Tahun 1978 saya berpindah agama ke Kristen. Bukannya ketenangan, kegelisahan saya malah menjadi-jadi.
Kekristenan saya mulai goyah sekitar tahun 1983. Saat itu saya sudah bergabung dengan Srimulat. Kebiasaan mabuk-mabukan pun mulai saya tinggalkan. Pikiran saya mulai jalan, mencari-cari akar kegundahan. Mulai tumbuh 'kecemburuan' saat melihat kawan-kawan yang muslim, menikmati kesyahduan suara azan. Pun saat mereka menikmati kebersamaan ketika sholat berjamaah.
Apalagi kalau datang bulan Ramadhan. Mendengar azan magrib, dur.. dur.. dur.. bedug ditabuh, menyaksikan kawan-kawan berbuka puasa, masya Allah terbayang dalam benak saya kenikmatan berbuka. Saya merasa di situ ada kebahagiaan. Setelah berpuasa seharian, saat berbuka, bersama-sama lagi, terasa benar nikmatnya. Kemudian bergegas ke masjid untuk tarawih berjamaah.
Hal-hal seperti itu banyak membantu menyadarkan saya kembali ke jalan yang benar. Kalaupun ada, faktor orang lain sebenarnya hanya bersifat penunjang, yang dominan adalah suara qalbu saya yang memanggil untuk kembali kepada Islam.
Sejauh itu saya masih beranggapan, semua agama baik. Tapi lama-lama, ada beberapa ajaran yang menyadarkan saya, ternyata Islamlah yang paling sempurna. Misalnya, dalam surat Al-Ikhlash disebutkan, "Katakan, 'Tuhan itu satu, Tuhan tidak beranak, tidak diperanakkan." Logikanya, kalau Dia punya anak, pasti anaknya diistimewakan, nggak mungkin Dia mendahulukan yang lain.
Akhirnya, pada suatu malam di tahun 1986, saya bulatkan tekad kembali kepada Islam. Saya mencapai kesadaran bahwa saya sudah melenceng. Malam itu juga saya sholat tahajud 50 rakaat dan satu rakaat witir, sampai menjelang waktu sholat subuh. Setiap selesai dua rakaat saya tandai dengan satu biji korek. Paginya saya menemui seorang kiai, mengikrarkan dua kalimah syahadat. Sejak itulah, saya buka lembaran baru.
Ketika saya kembali kepada Islam, ada keharuan yang amat-sangat. Bayangkan, bapak saya orang Madura. Tak ada orang Madura yang beragama Kristen. Maka seperti saat saya meninggalkan Islam, kembalinya saya kepada Islam juga ditangisi saudara-saudara saya. Tangis haru dan penuh rasa syukur. Alhamdulillah, sejak itu saya merasakan ketenangan hidup.
Meskipun ada sedikit kegelisahan yang tersisa, itu karena saya tak bisa menyadarkan istri dan empat orang anak saya untuk masuk Islam. Sampai akhirnya saya memutuskan berpisah dengan mereka.
Paquita Wijaya:
"Karena Rangkaian 'Keajaiban'"
Kesempatan mengenyam pendidikan Barat di Parsons
School of Design New York, membuat cara berpikirku sangat rasional. Apalagi
aku dibesarkan dalam kultur keluarga yang demokratis. Termasuk dalam menyikapi
agama. Sejak lahir aku memeluk agama Kristen Protestan, namun setelah rasioku
ditundukkan oleh kenyataan bahwa kekuasaan Allah itu benar ada, aku pun
bersyahadat dan masuk Islam.
Sudah lama aku tertarik dengan Islam. Kupikir, ini agama yang paling rasional. Perlahan, aku tertarik dengan ritual Islam yang dijalankan Tanteku, seorang muslimah yang sempat tinggal bersama keluargaku. Tapi hingga suatu saat aku suting di pulau Nias, Sumatera Utara, aku belum juga memeluk Islam.
Inilah awalnya. Pulau Nias tiap hari diguyur hujan lebat, disertai angin dan badai. Dua bulan tim kami terperangkap di pulau itu. Tak ada pesawat yang berani terbang di tengah cuaca buruk. Padahal, aku harus segera ke Jakarta.
Kepada teman-teman aku bilang, "Kalau hujannya berhenti, aku akan sholat." Pernyataan itu muncul spontan. Eh, tiba-tiba saja hujan berhenti. Sungguh menakjubkan. Hujan sederas itu benar-benar berhenti sama sekali, dan cuaca langsung cerah.
Akupun bisa tiba di Jakarta tanpa kesulitan. Walaupun aku berulang-ulang ditunjukkan 'sesuatu' yang sebelumnya tidak kupercayai, toh aku tidak langsung masuk Islam. Rasioku berkata, "Bukankah semua itu terjadi karena kebetulan saja." Hari-hari pun berjalan lagi. Membuat musik, mengajar di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) serta rutinitas lainnya. Namun sejak itu aku kerap memimpikan hal yang menurutku aneh. Misalnya aku mimpi bertemu, bersapa-sapa dengan ayah temanku yang sudah meninggal.
Meski aku mengenalnya dengan baik, menurutku ini agak aneh. Yang paling seram, aku mimpi dicekik berkali-kali, sampai sesak nafas tanpa bisa berbuat apa-apa. Gara-gara itu, tiga hari aku tak berani memicingkan mata.
Kutemui teman-temanku yang muslim. Kutanya mereka tentang cara ampuh mengusir mimpi buruk. "Surat apa yang kamu hafal?" tanya mereka, sambil menyebut beberapa nama surat dari Al-Quran. Kujawab, "Kecuali Al-Fatihah, tak ada yang lain." Lantas mereka menyuruhku membaca Al-Fatihah tujuh kali menjelang tidur. Sungguh, sejak saat itu aku tak mimpi aneh-aneh lagi.
Lain waktu aku bermimpi didatangi banyak orang. Mereka minta bantuanku. Ingin sekali aku menolong mereka tapi tidak berdaya. Tahu-tahu, dalam mimpi itu seperti ada yang menggerakkanku untuk sholat, hal yang sebelumnya tidak pernah kulakukan. Entah bagaimana, setelah sholat, aku jadi mempunyai kekuatan menolong orang-orang malang tadi. Dan ada kelegaan sesudahnya.
Akhirnya aku sampai pada suatu perasaan kekeringan hati. Dalam agamaku saat itu, aku tak merasakan suatu spirit. Katakanlah keimanan. Aku teringat saat-saat aku mengikuti tanteku berpuasa di bulan Ramadhan, saat itu aku masih seorang Kristen. Tapi pengalaman batin yang kurasakan sungguh istimewa.
Demikian pula pengalaman batin yang kurasakan saat pelan-pelan aku mulai lancar melafalkan Al Fatihah, karena kerap menyaksikan Tanteku menunaikan Sholat. Aku pun sampai pada kesimpulan yang bulat. Iman Islam inilah yang mengantarkanku pada sebuah kedamaian batin. Kesejukan iman Islam ini menyirami jiwaku.
Dua tahun kujalani proses perenungan itu, akhirnya aku mengikrarkan keIslamanku di sebuah masjid kecil di Jalan Kenari. Di hadapan seorang ustadz, kenalan seorang teman. Saat kuucapkan dua kalimat syahadat, aku tak mengalami kesulitan.
Selesai bersyahadat, hatiku lega. Hari-hari selanjutnya, semakin intens aku memperdalam Islam lewat buku karena aku tak sempat ke pengajian. Selain itu, aku juga belajar dari ibu pacarku yang memang seorang mubalighah di Solo.
Semula orang tuaku mengira aku masuk Islam lantaran pacarku, yang kebetulan seorang muslim. Demi menjaga niat keIslamanku, aku putus dengan pacarku ini. Hingga akhirnya aku menikah dengan seorang muslim lainnya. Ia pun rajin beribadah. Melihat dia sholat, rasanya hati ini senang tak terperi. Aku bangga memilih dan dipilih menjadi muslimah.
0 komentar:
Posting Komentar