EKONOMI ISLAM
Asuransi Syariah
Kebangkitan kedua sektor keuangan syariah setelah
perbankan, dialami oleh asuransi. Itu terjadi pada tahun 1994, ketika untuk
pertama kalinya didirikan perusahaan asuransi berlandaskan syariah di
Indonesia, melalui PT Syarikat Takaful Indonesia (STI). PT STI sendiri memiliki
dua anak perusahaan, yaitu PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK) dan PT Asuransi
Takaful Umum (ATU).
Dibandingkan di sejumlah negara -bahkan negara yang mayoritas penduduknya adalah nonmuslim- keberadaan asuransi Takaful di Indonesia terbilang terlambat. Di Luxemburg, Geneva dan Bahamas misalnya, asuransi Takaful sudah ada sejak tahun 1983. Sementara di negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim, keberadaannya sudah jauh lebih lama seperti di Sudan (1979), Saudi Arabia (1979), Bahrain (1983), Malaysia (1984) dan Brunei Darussalam (1992).
Hingga saat ini, PT Syarikat Takaful Indonesia masih menjadi satu-satunya perusahaan asuransi berdasarkan syariah. Namun demikian, ada beberapa perusahaan asuransi konvensional yang mulai menjajaki peluncuran produk-produknya yang berlandaskan sistem syariah.
Dibandingkan asuransi konvensional, asuransi syariah memiliki perbedaan mendasar dalam beberapa hal. Pertama, keberadaan Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syariah merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen, produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam.
Kedua, prinsip akad asuransi syariah adalah takafuli (tolong-menolong). Yaitu nasabah yang satu menolong nasabah yang lain yang tengah mengalami kesulitan. Sedangkan akad asuransi konvensional bersifat tadabuli (jual-beli antara nasabah dengan perusahaan).
Ketiga, dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi syariah (premi) diinvestasikan berdasarkan syariah dengan sistem bagi hasil (mudharobah). Sedangkan pada asuransi konvensional, investasi dana dilakukan pada sembarang sektor dengan sistem bunga.
Keempat, premi yang terkumpul diperlakukan tetap sebagai dana milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan pengelolaan dana tersebut.
Kelima, untuk kepentingan pembayaran klaim nasabah, dana diambil dari rekening tabarru (dana sosial) seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong bila ada peserta yang terkena musibah. Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari rekening milik perusahaan.
Keenam, keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan dalam asuransi konvensional, keuntungan sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh apa-apa.
PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK)
PT Asuransi Takaful Keluarga (ATK), didirikan pada tahun 1994 dengan modal dasar Rp 25 miliar dan modal disetor Rp 9 miliar. Sebagai anak perusahaan PT Syarikat Takaful Indonesia (STI), sebagian besar saham PT ATK dimiliki oleh PT STI, selebihnya oleh Koperasi Karyawan Takaful.
Pada tiga tahun pertama beroperasi, yaitu 1994, 1995 dan 1996, PT ATK mengalami kerugian kumulatif sebesar Rp 1,383 miliar. Namun mulai tahun 1997, PT ATK mulai berhasil membukukan laba yaitu sebesar Rp 135 juta. Laba itu terus tumbuh pada tahun 1998 menjadi Rp 312 juta, namun menurun kembali pada 1999 menjadi Rp 221.
Kondisi ini sebetulnya relatif baik, mengingat pada tahun-tahun itu ekonomi Indonesia tengah dilanda krisis. Bahkan, tak sedikit perusahaan asuransi konvensional yang kesulitan likuiditas dan akhirnya gulung tikar.
Sedangkan pendapatannya sejak pertama berdiri terus tumbuh. Pada tahun 1999, porsi pendapatan terbesar masih dari premi yaitu mencapai Rp 28,552 miliar. Pendapatan investasi mencapai Rp 1,707 miliar dan dari sektor lainnya Rp 99 juta.
PT ATK yang berkantor pusat di Jl. DR. Saharjo, Jakarta, hingga tahun 1999 berhasil merangkul 39.204 orang peserta individu di delapan produk individunya, yaitu Takaful Dana Investasi, Takaful Dana Haji, Takaful Dana Siswa, Takaful Anuitas, Takaful Anak Asuh, Takaful Kesehatan, Takaful Al-Khairat dan Takaful Kecelakaan Diri.
Sementara 441.573 peserta kumpulan tersebar di tujuh produk kumpulannya, yaitu Takaful Pembiayaan, Takaful Al-Khairat, Takaful Majelis Taklim, Takaful Kecelakaan Diri Kumpulan, Takaful Kecelakaan Siswa, Takaful Perjalanan Haji dan Umroh serta Takaful Wisata dan Perjalanan.
Jajaran dewan komisaris PT ATK, dipimpin oleh Iwa Sewaka selaku Direktur Utama PT STI. Sedangkan jajaran dewan pengawas syariah diketuai oleh KH Ali Yafie. Jajaran dewan direksi diisi oleh Agus Siswanto selaku direktur utama, Basuki Agus selaku direktur operasional, Edwin Mustafa selaku direktur keuangan dan Syahrial Sakni selaku direktur teknik dan aktuaria.
Mereka saat ini mengelola aset perusahaan senilai lebih dari Rp 55 miliar. Dalam menjalankan operasionalnya, PT ATK didukung oleh 947 orang sumberdaya manusia yang tersebar di 31 kantor cabang.
Dengan segala potensinya, PT ATK menetapkan visi 2003, yaitu menjadi perusahaan asuransi yang tangguh, terkemuka, diperhitungkan dan dibanggakan oleh ummat Islam dan masyarakat Indonesia. Untuk itu, PT ATK menetapkan misi untuk tetap konsisten sebagai lembaga ekonomi-keuangan syariah dan memeberi manfaat sebesar-besarnya bagi para stakeholders.
PT Asuransi Takaful Umum
PT Asuransi Takaful Umum (ATU), didirikan pada 5 Mei 1994. Mayoritas (99 persen) saham PT ATU, dimiliki oleh PT Syarikat Takaful Indonesia selaku induk perusahaan. Selebihnya adalah milik Koperasi Karyawan Takaful.
Sebagai perusahaan asuransi berdasarkan sistem syariah, produk-produk asuransi PT ATU bebas dari tiga unsur yang diharamkan hukumnya dalam muamalat Islam, yaitu ketidakpastian (gharar), untung-untungan (maisir) dan bunga (riba).
Lebih dari itu, prinsip bagi hasil (mudharobah) yang mendasari operasi PT ATU memungkinkan para peserta yang tak pernah mengajukan klaim -atau bahkan yang membatalkan polis sekalipun- memperoleh keuntungan dari bagi hasil tersebut.
Perhitungan bagi hasil antara perusahaan dengan peserta, didasarkan pada mekanisme sebagai berikut: kumpulan dana dari peserta diinvestasikan dengan prinsip syariah. Hasil investasi, dibagikan kepada perusahaan dan peserta berdasarkan suatu nisbah tertentu, setelah dikurangi pembayaran berbagai beban biaya (klaim dan premi reasuransi).
Berbeda dengan produk-produk PT ATK, produk asuransi PT ATU lebih banyak berorientasi pada pengasuransian barang. Produk-produk tersebut yaitu Takaful Kebakaran, Takaful Kendaraan Bermotor, Takaful Rekayasa, Takaful Pengangkutan, Takaful Rangka Kapal, Takaful Aneka.
Dari kantor pusatnya di Arthaloka Building, Jl. Jendral Sudirman Jakarta, PT ATU mengembangkan usahanya melalui enam kantor cabang, masing-masing di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Balikpapan.
Saat ini, sejumlah korporat terkemuka telah tercatat sebagai nasabah PT ATU seperti PT Krakatau Steel, PT Pupuk Kujang, PT Telkom, PT Perusahaan Listrik Negara serta sejumlah perusahaan swasta seperti PT Bank Muamalat Indonesia, PT ARCO Indonesia, PT Elnusa, dan sebagainya.
Jajaran dewan pengawas syariah PT ATU diketuai oleh KH. Ali Yafie. Sedangkan jajaran dewan komisaris dipimpin oleh Iwa Sewaka selaku Dirut PT Syarikat Takaful Indonesia. Sedangkan di jajaran Direksi terdapat nama-nama seperti Shakti Agustono Rahardjo sebagai dirut, Muhammad Syakir Sula sebagai direktur operasi dan Nurmansjha Lubis sebagai direktur keuangan.
Bank Syariah
Bank Muamalat Indonesia (BMI)Bank Muamalat, bukan sekedar merupakan bank syariah pertama di Indonesia. Lebih dari itu, juga merupakan institusi ekonomi pertama yang menerapkan sistem syariah di Indonesia. Wajar jika BMI menjadi simbol monumental kebangkitan sistem ekonomi syariah di Indonesia. Apalagi saat Bank Muamalat mulai beroperasi pada 1 Mei 1992, sistem perbankan Indonesia sepenuhnya masih menerapkan sistem konvensional. Termasuk di Bank Indonesia, sebagai lembaga bank sentral.
Izin usaha bagi PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) sendiri sebenarnya sudah dikantungi sejak 1 November 1990. Gagasan pendirian bank tanpa bunga ini, bermula dari Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan yang digelar MUI, 18-20 Agustus 1990. Gagasan inilah yang kemudian diadopsi menjadi salah satu rekomendasi yang dihasilkan Munas IV MUI, 22-25 Agustus tahun yang sama.
Masalah permodalan, awalnya menjadi kendala untuk mewujudkan gagasan pendirian bank ini. Saat itu, untuk mendirikan bank umum sawasta nasional, diperlukan modal disetor minimal Rp 10 miliar. Hal ini didasarkan pada kebijakan Deregulasi bidang Keuangan, Moneter dan Perbankan yang dikenal dengan Paket Kebijakan Oktober (Pakto 27), 27 Oktober 1988.
Untuk mengumpulkan dana Rp 10 miliar dari ummat Islam, saat itu bukanlah hal yang mudah. Namun dengan dukungan ICMI, lobby Habibie kepada Presiden Soeharto serta dukungan para pengusaha dan ummat Islam pada umumnya, akhirnya berhasil dimobilisasi dana hingga Rp 106 milyar. Dana inilah yang kemudian menjadi modal usaha Bank Muamalat.
Saat perbankan nasional mengalami krisis cukup parah pada 1998, sistem bagi hasil yang secara umum diterapkan dalam produk-produk Bank Muamalat, relatif berhasil mempertahankan kinerja bank tersebut. Saat Bank Indonesia menetapkan rasio kecukupan modal (Capital Adequcy Ratio/CAR) yang harus dimiliki bank minimum empat persen, Bank Muamalat memiliki CAR 12 persen.
Berdasarkan laporan keuangan per Juni 2000, bank yang berkantor pusat di Arthaloka Building, Jl. Jendral Sudirman No. 2 Jakarta itu berhasil membukukan laba Rp 17 miliar. Laba tersebut, berasal dari keuntungan non-operasional yang mencapai Rp 24 miliar. Sayangnya, secara operasional BMI masih merugi Rp 7 miliar.
Berdasarkan RUPS tahun 1999, Bank Muamalat dikelola oleh suatu dewan direksi yang terdiri dari A. Riawan Amin sebagai direktur utama serta Ariviyan Arifin, Suhaji Lestiadi dan Budi Wicaksono masing-masing sebagai direktur.
Jajaran dewan syariah diketuai oleh KH. Ali Yafie dengan anggotanya yaitu KH. Ibrahim Husen, KH. Omar Shihab, KH. Muwardi Chatib dan H. Syafi'i Antonio. Sedangkan di Dewan Komisaris terdapat nama H. Abbas Adhar sebagai komisaris utama, didampingi empat orang komisaris yaitu AM. Saefuddin, M. Amin Aziz, Korkut Ozal, Zainulbahar Noor dan H. Mubarok.n
Bank Syariah Mandiri (BSM)
Konversi sistem operasi perbankan dari konvensional ke sistem syariah, yang dimungkinkan UU No. 10 Tahun 1998, untuk kali pertama dimanfaatkan oleh Bank Susila Bhakti (BSB). Bank yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Bank Dagang Negara (BDN) -sebelum dimerger ke dalam Bank Mandiri- per 19 November 1999, resmi menerapkan sistem syariah dan mengubah namanya menjadi Bank Syariah Mandiri (BSM).
Saat BSM resmi beroperasi, kondisi perbankan nasional Indonesia masih belum pulih dari krisis. Namun, rasio kecukupan modal (CAR) BSM yang saat diresmikan memiliki delapan kantor cabang, sudah 600 persen. Sedangkan assetnya mencapai Rp 450 miliar, Rp 381 miliar diantaranya berupa dana liquid. Dari modal netto Rp 359,118 miliar, BSM telah telah menyalurkan pembiayaan Rp 100 juta.
Kali pertama diresmikan, dana masyarakat yang berhasil dihimpun bank yang berkantor pusat di Jl. MH. Thamrin, Jakarta itu, sudah mencapai Rp 57,56 miliar. Rp 47,32 miliar merupakan simpanan nasabah BSB yang dipertahankan pemiliknya di BSM, selebihnya merupakan dana dari masyarakat yang baru bergabung dengan BSM.
Karyawan BSM yang jumlahnya mencapai 200 orang, dipimpin oleh Direktur Utama Nurdin Hasibuan dan Direktur Yuslam Fauzi. Pada akhir tahun 2000, BSM memproyeksikan penambahan kantor cabang hingga menjadi 20 dan pada 2001 menjadi 100 kantor cabang. Daerah-daerah yang menjadi prioritas pembukaan cabang, merupakan daerah yang penduduknya mayoritas ummat Islam yaitu Aceh, Pekalongan, Pamekasan (Madura), Solo dan Makassar.
Berdasarkan laporan keuangan per Juni 2000, BSM yang usianya belum genap setahun sudah menunjukkan kinerja yang baik. Ini dibuktikan dengan perolehan labanya yang mencapai Rp 7,8 miliar. Sebagian besar dari laba itu, yaitu Rp 4,3 miliar, berasal dari laba operasional. Biaya pencadangan untuk kredit kategori macet, diragukan dan kurang lancar, juga turun drastis dari Rp 150 miliar menjadi hanya Rp 272 juta. Ini karena adanya suntikan modal segar sebesar Rp 547 miliar, yang Rp 204 miliar diantaranya digunakan untuk menutupi kerugian sebelum konversi BSB menjadi BSM. Dengan demikian, modal yang tercatat per Juni 2000 adalah Rp 358 miliar.
Sayangnya, sebagian terbesar dari dana tersebut belum dapat terdistribusi untuk pembiayaan ke usaha-usaha sektor produktif. Namun masih disalurkan untuk membeli Surat Berharga Syariah yaitu Rp 345 miliar. Baru Rp 157 miliar saja yang disalurkan untuk pembiayaan.n
Bank IFI Syariah
Selain memberi peluang konversi sistem konvensional ke sistem syariah, UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, juga memberi peluang operasi perbankan syariah dengan mekanisme Dual Banking System. Artinya, suatu badan usaha perbankan, memiliki dua sistem operasi sekaligus yaitu sistem konvensional dan syariah. Namun dalam pengelolaan dana, diantara keduanya harus tetap dipisahkan.
Sistem operasi ganda perbankan inilah yang diterapkan pada Bank IFI, oleh direktur utamanya, Harry Rachmadi. Pada 29 Juni 1999, Bank IFI resmi membuka satu kantor cabangnya dengan menerapkan sistem syariah. Bank IFI cabang syariah, didirikan dengan modal disetor Rp 2 miliar. Dengan demikian, selain menerapkan sistem konvensional, Bank IFI Juga sekaligus menerapkan sistem syariah.
Meski sementara ini Bank IFI hanya memiliki satu kantor cabang syariah yang berlokasi di Jl HR. Rasuna Said, Jakarta, namun sebagai strategi pengembangan usaha, Bank IFI syariah menjalin aliansi dengan sejumlah institusi ekonomi Islam. Bersamaan dengan peresmian Bank IFI Syariah, ditandatangani juga kerjasama dengan PT Danareksa Investment Management, Asosiasi BPR Syariah Indonesia, Yayasan Dompet Dhuafa, Asuransi Takaful serta Ikatan Pengusaha Muslim. Dengan strategi ini, meski jumlah outletnya masih sangat terbatas, Bank IFI Syariah berharap dapat merangkul potensi dana ummat Islam sebanyak mungkin.
REKSADANA SYARIAH
Reksadana merupakan suatu intrumen keuangan untuk
menghimpun dana dari masyarakat pemodal secara kolektif. Dana yang terkumpul
ini, selanjutnya dikelola dan diinvestasikan oleh seorang manajer investasi (fund
manager) melalui saham, obligasi, valuta asing atau deposito. Sedangkan reksadana syariah, mengandung pengertian sebagai reksadana yang pengelolaan dan kebijakan investasinya mengacu pada syari'at Islam. Reksadana syariah, misalnya tidak diinvestasikan pada saham-saham atau obligasi dari perusahaan yang pengelolaan atau produknya bertentangan dengan syariat Islam. Seperti pabrik makanan/minuman yang mengandung alkohol, daging babi, rokok dan tembakau, jasa keuangan konvensional, pertahanan dan persenjataan serta bisnis hiburan yang berbau maksiat.
Salah satu indikator utama untuk menilai kinerja reksadana adalah Nilai Aset Bersih (NAB/Net Asset Value). Indikator ini merupakan hasil perhitungan dari nilai investasi dan kas dipegang (yang tak terinvestasikan), dikurangi dengan biaya-biaya serta utang dari kegiatan operasional.
Hingga saat ini (September 2000), Indonesia baru memiliki dua produk reksadana syariah. Yang pertama diluncurkan oleh PT Danareksa Insvestment Management pada Juni 1997, yang kedua diluncurkan oleh PT PNM Investment Management pada 5 Mei 2000.
PT Danareksa Investment Management
Reksadana Syariah dari PT Danareksa bertujuan untuk memberi kesempatan investasi yang maksimal dalam jangka panjang, kepada pemodal yang hendak mengikuti syariat Islam.
Dalam kondisi normal, Reksadana Syariah akan menanamkan dana pada portofolio efek dengan komposisi: minimum 80% pada efek saham dan maksimum 20% pada efek hutang atau instrumen pasar uang lainnya. Komposisi ini dapat berubah untuk mengantisipasi perubahan di pasar modal akibat dari perubahan ekonomi, hukum, politik ataupun kinerja industri dan perusahaan sehingga kinerja dan risiko dapat dikelola sebaik-baiknya.
Reksadana Syariah dipersiapkan sedemikian rupa agar memberi kemudahan bagi ummat untuk berinvestasi secara nyaman, dengan hasil investasi yang bersih dari unsur riba dan gharar. Apabila anda memiliki keperluan yang terencana dalam jangka panjang, misalnya biaya pendidikan anak atau bahkan persiapan melaksanakan ibadah ke Tanah Suci, maka Anda dapat mulai berinvestasi secara teratur dalam Reksadana Syariah.
Reksadana Syariah akan membagikan uang tunai kepada pemegang Unit Penyertaan setidaknya sekali dalam setahun. Nilai Aset Bersih (NAB/Net Asset Value) Reksadana Syariah dari PT Danareksa saat ini rata-rata di atas Rp 600 ribu. Sedangkan nilai jual per unitnya, rata-rata Rp 20 ribu di atas NAB.
Total nilai penyertaan per September 2000, sudah lebih dari Rp 17 miliar. Namun PT Danareksa terus berupaya merangkul investor muslim potensial untuk ikut dalam penyertaan dengan minimum investasi dalam Reksadana Syariah, yaitu setara dengan 250.000,-. Penambahan investasi selanjutnya setara dengan 100.000,-. (Setelah dikurangi biaya penjualan).
PT PNM Investment Management
Reksadana Syariah PT PNM Investment Management (selanjutnya disebut PNM Syariah), merupakan reksadana campuran (balance fund) yang bertujuan untuk memperoleh pertumbuhan nilai investasi yang optimal dalam jangka panjang. Adapun investasi PNM Syariah dilakukan pada intrumen-intrumen keuangan seperti efek ekuitas, efek hutang dan instrumen pasar uang dari perusahaan yang beroperasi sesuai dengan syari'at Islam. Kebijakan investasi PNM Syariah, 30 hingga 70 persen diorientasikan pada saham. Selebihnya pada surat-surat utang atau intrumen pasar uang lainnya. Meski baru diluncurkan pada 5 Mei 2000, namun PNM Syariah sudah mencatatkan total nilai penyertaan mencapai sekitar Rp 25 miliar. Padahal, nilai minimal penyertaan PNM Syariah PNM hanya Rp 200 ribu atau lebih rendah Rp 50 ribu dibandingkan nilai minimal penyertaan Reksadana Syariah PT Danareksa IM. Sementara harga per Unit Penyertaan yang ditawarkan kepada masyarakat Rp 1.000. Nilai Aset Bersih (NAB/Net Asset Value) PNM Syariah, saat ini berfluktuasi pada kisaran Rp 1.000. Bagi setiap nilai penyertaan minimal, PT PNM-IM memberikan fee sebesar 3 persen. Namun untuk setiap penjualan kembali, perusahaan pendanaan tersebut tak memberikan fee. Hanya saja, penjualan didasarkan pada nilai pasar (NAB) saat itu.
PERDAGANGAN RITEL
Secara umum, ada lima bentuk perdagangan eceran
(ritel) di Indonesia. Pertama, apa yang disebut warung. Yaitu
perdagangan eceran dengan volume usaha relatif kecil, yang menjual berbagai
barang dagangan. Minimarket, termasuk ke dalam kriteria ini. Kedua,
perdagangan eceran yang menjual barang-barang khusus tertentu. Misalnya toko
alat tulis dan kantor, toko minuman, dsb. Ketiga, supermarket. Yaitu
perdagangan eceran yang beroperasi secara modern dengan volume usaha relatif
besar, menjual kebutuhan sehari-hari di luar produk fesyen. 'Hero Supermarket'
adalah contohnya. Keempat, department store. Yaitu perdagangan
eceran yang beroperasi secara modern dengan volume usaha yang relatif besar,
menjual segala macam produk fesyen. Kelima, hypermarket. Yaitu
perdagangan eceran yang merupakan pengembangan dari supermarket dan department
store. Saat ini, perdagangan eceran sektor kecil menunjukkan kecenderungan penurunan porsi. Sementara perdagangan eceran sektor besar terus berkembang hingga jumlahnya saat ini mencapai 112 unit dengan total nilai penjualan pada 1996 mencapai Rp 7 miliar. Jumlah itu berarti meliputi 65 persen dari total nilai penjualan perdagangan eceran di Indonesia. Dibandingkan tahun 1985, nilai penjualan perdagangan eceran sektor kecil menurun sekitar 15 persen. Dari kondisi yang seperti inilah, Koperasi Warung JK lahir.
Tentang Warung 'JK'
Koperasi Warung JK (selanjutnya disebut 'Warung JK' atau 'Koperasi'), pertama berdiri pada tahun 1995 sebagai suatu institusi jasa pelayanan sosial. Kelompok sasaran dari kegiatan Warung JK adalah toko-toko kecil serta warung tradisional yang menjual kebutuhan sehari-hari.
Setelah dua tahun berjalan, pada 1997 orinetasi kegiatan Warung JK diarahkan pada pendekatan bisnis. Maka tepatnya pada November 1997, Warung JK resmi memiliki badan hukum sebagai koperasi. Dalam waktu relatif singkat yaitu sekitar dua tahun, per Desember 1999 saja, Koperasi Warung JK telah melayani 2.546 unit toko/warung tradisional di seluruh kawasan Jabotabek.
Saat ini, Koperasi Warung JK memiliki tiga unit usaha, yaitu JK Distribusi, Jika Pembiayaan Keuangan dan JK Perdagangan. Per 1999, ketiga uni usaha tersebut telah membukukan total penjualan Rp 47,4 miliar. Dengan volume usaha sebesar itu, Koperasi Warung JK telah berhasil menyerap 267 tenaga kerja tetap maupun honorer.
Pada Mei 1999, Kantor Menko Kesra dan Taskin bersama Departemen Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah mempercayai Koperasi Warung JK untuk mendistribusikan skema pembiayaan mikro yang kemudian dikenal sebagai JL Taskin (Pengentasan Kemiskinan). Program tersebut dibagi dalam dua termin. Pada termin pertama antara Juni 1999 hingga Juli 2000, telah disalurkan pinjaman sebesar Rp 12 miliar bagi 4 ribu unit toko/warung tradisional. Sedangkan pada termin kedua antara Agustus hingga Desember 2000, telah disalurkan pinjaman sebesar Rp 18 miliar bagi 6 ribu unit toko/warung tradisional.
Aktivitas Koperasi Warung JK
Pada awalnya, Warung JK didirikan untuk meningkatkan posisi tawar toko/warung tradisional di hadapan suplier/distributor, dalam hal pengadaan barang-barang dagangan mereka. Dari awalnya hanya menghimpun pembelian dari sejumlah toko/warung tradisional kecil, aktivitasnya meluas hingga pada 1997 Warung JK memiliki jasa tambahan berupa pendristibusian barang-barang dagangan tersebut. Sejak itu, Warung JK mulai memiliki pusat distribusi (depo) beserta sarana angkutan sendiri.
Awalnya, jangka waktu pembayaran yang diberikan Warung JK pada toko/warung tradisional yang dipasoknya hanya selama satu minggu. Namun dengan dukungan Kantor Menko Kesra dan Taskin melalui program Kredit JK Taskin, jangka waktu pembayaran tersebut diperpanjang hingga bisa mencapai satu tahun. Namun demikian, Kepala Operasional warung JK, Laode Budi Utama mengaku, proporsi kredit macet sangat kecil sekali, yaitu sekitar 1 persen saja.
Saat ini, Warung JK tengah membangun proyek jaringan minimarket yang dinamai 'JK 100%'. Ini merupakan suatu bentuk kemitraan antara Warung JK dengan toko/warung tradisonal anggotanya, dimana toko/warung tradisonal tersebut akan mengonversi sistem operasinya dari semula bersifat tradisional, kemudian mengadopsi sistem Warung JK dengan pola waralaba (franchising).
Misi dan Visi
Warung JK didirikan dengan misi memberikan manfaat yang nyata dan seimbang bagi stakeholders JK: warung anggota, karyawan, yayasan, pabrikan/supplier, pemerintah dan masyarakat. Untuk mencapai misi itu, JK berkeyakinan hanya bisa dikembangkan oleh karyawan yang 'tersenyum'. Warung JK selalu menilai ulang organisasi JK dengan kriteria : (1) Memperpendek rantai keputusan, (2) Beban kerja per individu lebih maksimal dan (3) Kemungkinan kesejahteraan karyawan dapat ditingkatkan.
Lebih dari itu, Warung JK bercita-cita dapat menjadi centre of excellent, tempat dihailkannya SDM bermutu dan profesional di bidang bisnis modern, khususnya koperasi. Karena itu belajar merupakan keharusan bagi seluruh karyawan JK. Untuk itu, tentu menuntut strategi yang pararel antara pengelolaan bisnis dan pengelolaan SDM sekaligus. Melayani 25.000 warung pada tahun 2000 bukanlah pekerjaan ringan !.
Manajemen Warung JK berharap memiliki sistem pelatihan terbaik, yang minimal memenuhi standar profesionalisme dunia kerja modern. Standar ISO bidang Manajemen, ISO bidang Oengelolaan & Pengembangan SDM dan ISO bidang Operasi, adalah kualitas minimal yang kami cita-citakan. Oleh karena itu, sistem kerja yang transparan, adil dan penuh kebersamaan, tak bisa tidak harus diwujudkan. Transparan artinya seluruh transaksi dan kebijakan kami dilakukan secara terbuka, sesuai dengan level wewenangnya. Adil artinya keputusan didasarkan objektivitas, sedangkan Kebersamaan artinya JK kami bangun menjadi rumah kedua bagi seluruh karyawan.
0 komentar:
Posting Komentar