Sistem Hijab
Hijab, yang secara lughoh berarti tirai atau dinding, adalah satu terminologi yang bisa berarti perlindungan wanita dalam Islam dari pandangan laki-laki (terutama yang bukan Muhrim). Salah satu prinsip dasar Islam adalah pewujudan suatu sistem yang suci, sehingga Islam senantiasa berusaha mendidik setiap anggota masyarakat, pria maupun wanita, untuk menjadi manusia yang bertaqwa, disiplin, dan menjaga kesucian mereka. Di antara pendidikan yang penting adalah dengan latihan agar manusia berdisiplin atas kecenderungan mereka terhadap jenis yang lain dan agar kecenderungan-kecenderungan ini hanya disalurkan melalui jalan yang halal. Untuk tujuan ini Islam membuat satu peraturan yang bernama hijab.
Sistem hijab adalah peraturan-peraturan yang merupakan elaborasi tindakan-tindakan yang boleh/tidak boleh dilakukan dalam sosialisasi antara pria dan wanita. Hijab tak terbatas pada perintah bagi wanita untuk menutup kepala dan wajah saja, melainkan suatu sistem yang menyeluruh yang menjadi panduan-panduan dasar bagi pria dan wanita dalam bermu'amalah untuk membangun masayarakat. Pengertian hijab sebagai satu sistem bisa difahami melalui ayat-ayat berikut:
An-Nur : 30-31, Al-Ahzab : 32-33, dan Al-Ahzab : 59.
Sistem hijab adalah sistem yang sempurna dan terpadu. Sempurna karena bersumber dari Allah yang Maha Mengetahui serta sesuai dengan fitrah manusia yang bertujuan untuk mencapai kemashlahatan manusia dan tamaddun mereka. Terpadu karena sistem ini menggabungkan segenap sistem dalam Islam; berasaskan kepada aqidah tauhid yang tercerna dalam akhlaq yang mulia, ibadah yang syumul (menyeluruh), dan pelaksanaan hukum-hukum syariatnya.
Hijab bukan semata-mata mengandung makna bahwa wanita hanya berkerudung saja namun pada saat yang sama masih bertabarruj. Pelaksanaan hijab bertujuan untuk melaksanakan tiga asas dalam melindungi kesucian masyarakat: menjaga kesucian diri, mencegah penodaan terhadap masyarakat, dan pelaksanaan hukuman bila terjadi pelanggaran. Adalah persepsi yg salah bila seseorang menganggap bahwa hijab semata-mata mengandung arti menjaga aurat dari pandangan pria non muhrim dan pada saat yang sama tidak menjalankan kesyumulan Islam dari segi ibadah dan akhlaknya. Lebih-lebih bila penjagaan aurat ini tidak melindungi masyarakat dari kejahatan lisan maupun perbuatannya. Sekiranya seorang wanita yang menutup auratnya itu melakukan kesalahan dan berakhlak tidak baik, janganlah memakai kerudung itu yang harus disalahkan; yang bersalah adalah wanita itu sendiri. Ini adalah karena kurangnya pemahaman terhadap sistem hijab.
Banyak wanita modern mengenakan kerudung karena fashion (mode) saja supaya mereka terlihat lebih cantik dan anggun. Di dalam Islam, bila perkara ma'ruf dilakukan dengan kefahaman yang penuh disertai keikhlasan (semata-mata untuk mencari ridha Allah), maka ini akan melahirkan banyak perkara ma'ruf yang lain. Namun sebaliknya, bila masalah ma'ruf ini tidak difahami tujuannya dengan baik atau bahkan tidak sadar bahwa ini termasuk amal yg bertujuan untuk memperoleh ridha Allah, maka orang yang melaksanakannya tidak merasa bahwa dia tengah mematuhi perintah Allah. Karena itu, suatu amalan yg meskipun secara lahiriah adalah ma'ruf dalam Islam namun bila tidak mengikuti cara yang telah ditunjukkan oleh syari'ah dan tidak disertai dengan niat yang Ikhlas lillahi ta'ala, maka ini tidak termasuk dalam 'amalan yang shaleh.
Adalah satu miskonsepsi yang besar bila ada pendapat bahwa seseorang dapat menghayati nilai-nilai akhlak yang baik tetapi meninggalkan aspek-aspek dalam sistem hijab. Misalnya saja seseorang yang mengatakan bahwa kebaikan itu di dalam hati dan tidak pada pakaian. Islam tidak mengenal konsep ‘pelaksanaan satu amalan wajib bisa membebaskan diri dari amalan wajib lainnya’. Sebagai contoh adalah seseorang yang telah banyak melakukan shalat fardhu dan sunat, telah banyak berzakat dan bershadaqah, telah beberapa kali menunaikan haji ke Baitullah; apakah ia boleh meninggalkan shalat Subuh barang sekali saja? Sama halnya di sini dengan anggapan bahwa kebaikan itu di dalam hati dan tidak pada pakaian. Apakah kebaikan di hati boleh menghalalkan penampakkan aurat yang telah jelas-jelas diharamkan oleh Allah?
Islam memerintahkan penganutnya untuk menerima Islam secara kaaffah (menyeluruh): menerima apa yang diharamkan oleh Allah sebagai haram dan apa yg dihalalkan oleh Allah sebagai halal.
"Hai orang-orang yang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan adalah musuhmu yang nyata."Qs 2 : 208
Ada sebagian yang mengaku bahwa menutup aurat adalah wajib hukumnya. Namum mereka menganggap bahwa hukumnya adalah dosa kecil dan dosa-dosa kecil mereka anggap bisa dihapuskan dengan melakukan kebajikan-kebajikan yang lain. Sikap ini adalah sikap yang teramat sangat salah. Meninggalkan perintah menutup aurat dengan anggapan bahwa ini hanyalah dosa kecil jauh lebih berbahaya daripada dosa tidak menutup aurat karena kebodohan. Mengakui satu perkara sebagai dosa dan terus menerus melakukannya akan menyebabkan dosa itu terakumulasi sehingga menjadi dosa besar. Ulama menyatakan bahwa berkekalan dalam dosa kecil menjadikan dosa itu sebagai dosa besar.
Ada pula orang yang beranggapan bahwa mengenakan pakaian yang menutup aurat seperti berkerudung dan sebagainya itu dikhawatiri menimbulkan sifat riya dan munafik. Bagi mereka, biarlah tidak menutup kepala asalkan hati tidak riya dan jiwa bersih dari sifat munafik. Sekali lagi, ini anggapan keliru! Apakah karena kita takut dihinggapi riya karena melakukan shalat maka kita tidak melaksanakannya? Rasulullah saw sendiri telah mengingatkan jika kita tidak melakukan amal kebajikan karena takut riya maka perbuatan tersebut adalah riya.
Karena itu hendaklah kita terus melakukan apa yang wajib kita lakukan dan menepikan segala hasutan syaithan yang memang bertujuan untuk menyesatkan kita. Lagipula tak mungkin seseorang menjadi munafik karena melaksanakan perintah Allah dalam keadaan faham dan sadar terhadap tuntutan tersebut serta diikuti oleh keikhlasan untuk memperoleh ridha Allah semata. Sebaliknya, bila orang sengaja meninggalkan perintah Allah dalam keadaan faham dan sadar akan perintah tersebut adalah sangat sangat sangat dikhawatirkan untuk terjerumus dalam jurang munafikun.
Sebagai penutup, salah satu perkara yg paling dasar di dalam sistem sosial Islam adalah hubungan antara pria dan wanita. Hubungan yang benar dan sehat antara pria dan wanita akan membawa kebahagiaan dan keberhasilan dalam masyarakat, namun bila hubungan antara pria dan wanita berada di luar batas-batas yang telah ditetapkan oleh Islam maka akan membawa masyarakat kepada kehancuran. Islam tidak memandang ringan terhadap hubungan yang bebas antara pria dan wanita. Hukum-hukum hijab Islam: pengharaman bercampur baur antara pria dan wanita secara bebas, pelarangan siaran nyanyian yang memekakkan, tari-tarian, gambar-gambar porno, serta perbuatan-perbuatan tak senonoh adalah ditujukan untuk menghalangi kemungkinan berlakunya hubungan bebas antara pria dan wanita di dalam masyarakat.
Prinsip Islam di dalam membangun masyarakat dan negara adalah di atas aqidah dan keimanan kepada Allah. Di atas dasar inilah segala peraturan yang berlaku di dalam masyarakat adalah peraturan dan undang-undang dari Allah. Peraturan dan undang-undang ini seharusnya dilaksanakan di dalam seluruh kegiatan masyarakat: dalam kegiatan politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya.
(sumber: tarbiyah - isnet)
Jihad adalah jalan perjuangan kami
Karena suatu tujuan maka jiwa manusia diciptakan-Nya untuk diliputi rasa takut dan rindu. Rindu akan janji yang menggiurkan dan takut akan ancaman yang mengerikan. "Kabarkanlah kepada hamba-hambaKu bahwa sesungguhnya Aku-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan sesungguhnya azabKu adalah azab yang sangat pedih." (al-Hijr 49-50)
1) Di akhirat kelak dijamin adanya suatu ganjaran. "Kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa." (Ali 'Imran 133)
Tetapi dalam waktu yang sama diberitahu adanya siksa.
2) "Api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurkahai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (at-Tahrim 6)
Hukum jihad
Jihad itu hukumnya fardhu ain (wajib mutlak) untuk hal-hal berikut:
1) Menegakkan syariat Allah "Dan perangilah mereka supaya tidak ada fitnah dan supaya dien ini semata-mata bagi Allah." (al-Anfal 39)
2) Untuk mempertahankan negara Islam atau untuk mengembalikan negara Islam yang dirampas musuh.
3) Dapat menjadi fardhu kifayah jika dalam rangka membebaskan daerah baru dari kejahiliyahan.
Pahala jihad
"Dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah." (at-Taubah 41)
"Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdo'a: 'Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau." (an-Nisa' 75)
Kita dan jihad
Jika kita lihat situasi pada saat ini dimana masyarakat Islam sudah tidak lagi memberlakukan syariat Allah yang menyebabkan ummatnya porak poranda, negara (Islam)nya dilenyapkan dari muka bumi, dan tanah airnya dijadikan bahan rebutan penjajah kafir Komunis, Yahudi, Kristen, maka masih adakah yang ragu-ragu bahwa jihad itu fardhu ain hukumnya??? Apakah masih ada jalan lain untuk menangkis semua kejahatan mereka dan untuk meraih kebenaran selain daripada jalan jihad?? Bukankah kita kini berada di tengah-tengah zaman yang telah diramalkan Rasulullah saw. dalam kondisi demikian, apakah belum saatnya kita cinta mati, bukan cinta dunia? (jihad)
Karena suatu tujuan maka jiwa manusia diciptakan-Nya untuk diliputi rasa takut dan rindu. Rindu akan janji yang menggiurkan dan takut akan ancaman yang mengerikan. "Kabarkanlah kepada hamba-hambaKu bahwa sesungguhnya Aku-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, dan sesungguhnya azabKu adalah azab yang sangat pedih." (al-Hijr 49-50)
1) Di akhirat kelak dijamin adanya suatu ganjaran. "Kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa." (Ali 'Imran 133)
Tetapi dalam waktu yang sama diberitahu adanya siksa.
2) "Api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurkahai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (at-Tahrim 6)
Hukum jihad
Jihad itu hukumnya fardhu ain (wajib mutlak) untuk hal-hal berikut:
1) Menegakkan syariat Allah "Dan perangilah mereka supaya tidak ada fitnah dan supaya dien ini semata-mata bagi Allah." (al-Anfal 39)
2) Untuk mempertahankan negara Islam atau untuk mengembalikan negara Islam yang dirampas musuh.
3) Dapat menjadi fardhu kifayah jika dalam rangka membebaskan daerah baru dari kejahiliyahan.
Pahala jihad
"Dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah." (at-Taubah 41)
"Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita, maupun anak-anak yang semuanya berdo'a: 'Ya Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau." (an-Nisa' 75)
Kita dan jihad
Jika kita lihat situasi pada saat ini dimana masyarakat Islam sudah tidak lagi memberlakukan syariat Allah yang menyebabkan ummatnya porak poranda, negara (Islam)nya dilenyapkan dari muka bumi, dan tanah airnya dijadikan bahan rebutan penjajah kafir Komunis, Yahudi, Kristen, maka masih adakah yang ragu-ragu bahwa jihad itu fardhu ain hukumnya??? Apakah masih ada jalan lain untuk menangkis semua kejahatan mereka dan untuk meraih kebenaran selain daripada jalan jihad?? Bukankah kita kini berada di tengah-tengah zaman yang telah diramalkan Rasulullah saw. dalam kondisi demikian, apakah belum saatnya kita cinta mati, bukan cinta dunia? (jihad)
'Jahiliyah' Sampai Kapan?
KEKACAUAN yang sekian lama dan terlalu sering menimpa,
agaknya masih belum bisa membuka mata hati seluruh komponen bangsa ini untuk
bertaubat atas segala dosa --terutama yang kolektif-- yang telah
diperbuat.
Selaku bangsa yang Berketuhanan Yang Maha Esa, dosa kolektif terbesar yang dilakukan sejak negara ini berdiri adalah penistaan terhadap hukum dan ketentuan Tuhan. Terlepas dari agama apa saja yang kita peluk, tentu agama kita itu memiliki kitab suci yang oleh masing-masing pemeluknya diyakini merupakan wahyu/firman Tuhan yang wajib ditaati sebagai ketentuan hukum tertinggi. Namun kenyataannya semua hukum dari semua agama itu dicampakkan begitu saja.
Sebagai gantinya diterapkanlah hukum buatan manusia yang sudah pasti banyak memiliki kekurangan dan kesalahan. Celakanya lagi hukum tersebut adalah buatan penjajah yang selama ini telah menyiksa dan memperkosa bangsa kita. Orang bodoh (Jahil) saja sudah tentu yakin bahwa hukum yang dibuat penjajah tak bakalan mendatangkan kemaslahatan bagi negeri yang dijajahnya. Maka dengan kesalahan memilih hukum itu terjatuhlah kita semua dalam "ke-jahiliyahan" yang nyata.
Sangat wajar -jika tak mau dikatakan wajib- reaksi keras kalangan tokoh Islam beberapa waktu lalu terhadap penangkapan Panglima Laskar Jihad Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Ustadz Djafar Umar Thalib, karena memberlakukan hukuman rajam bagi anggotanya yang melakukan Zina. Penangkapan yang oleh sebagain kalangan masih dikatagorikan 'cacat hukum' ini jelas-jelas menunjukkan kesewenangan penguasa --dalam hal ini Mabes PolRI-- dalam menghalangi umat Islam mengamalkan ajaran agamanya. Bahkan Ketua DPP PAN yang juga Wakil Ketua MPR, AM Fatwa sempat mendesak DPR agar segera memanggil Kapolri guna memberikan keterangan tentang alasan konkrit tentang penangkapan itu. Allhamdulilah kemudian Ustadz Ja'far ternyata bebas.
Kita yang selama ini telah dicekoki paham penyepelean terhadap ketentuan Tuhan (baca: Syariat Agama) telah terpelintir otak dan pemikirannya sehingga tak dapat lagi membuka mata hati untuk bersikap yang semestinya. Ketentuan agama yang sebenarnya dijamin dalam Udang-Undang Negara ini (Pasal 29 UUD 1945) sampai dianggap sedemikian rendah dan hinanya hingga harus dikalahkan oleh hukum pidana yang nota bene adalah produk penjajah Belanda. Itupun sebenarnya masih menjadi perdebatan kaum penganut hukum 'positif' itu sendiri, apakah dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana atau tidak.
Menurut Ketua TIM Pembela Djafar Umar Thalib Hartono, dalam wawancara di SCTV pada selasa (8/5), penangkapan Panglima Laskar Jihad tersebut sangat tidak benar. Ia beralasan bahwa substansi alasan penangkapan sangat tidak mengena. Ia berpendapat bahwa aparat jelas-jelas melakukan kesalahan dalam prosedur penangkapan. Ia juga menyatakan bahwa semestinya aparat terlebih dahulu melakukan pemanggilan, atau paling tidak meminta keterangan dari tokoh Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wak Jamaah tersebut. Selain itu ia beranggapan bahwa pelaksanakan hukuman Rajam yang dilakukan atas permintaan sang pelaku Zina sendiri tidak dapat dikatakan sebagai tindakan pidana, mengingat itu adalah dalam rangka pengamalan ajaran agama yang jelas-jelas dilindungi oleh Undang-Undang Negara ini sendiri.
Hartono mencontohkan, jika hal seperti ini dikatakan sebagai pelanggaran pidana, maka seorang penyuluh KB (Keluarga Berencana) pun dapat dituntut hukum karena memnempelkan memperlihatkan, bahkan menyebarkan gambar yang asusila seperti yang dijelaskan dalam pasal 282 KUHP, orang yang melakukan penghitanan (Sunatan) tentu juga bisa pula dituntut melanggar hukum pidana, karena jelas-jelas melakukan penganiayaan. Oleh karena itu ia sangat tidak sependapat jika perbuatan Panglima Laskar Jihad dalam menerapkan hukum razam kepada anak buahnya dianggap melanggar hukum pidana.
Polemik tersebut jelas sangat ironi terjadi di tengah bangsa yang mengaku Berketuhanan Yang Maha Esa, terlebih dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam seperti Indonesia ini. Kenyataannya Tuhan masih dinomor seribukan, hingga manusia mengagung-agungkan kemampuannya sendiri dalam mengatur hidup.
Masih kurang cukupkah bencana dan azab yang telah diturunkan Allah kepada bangsa ini, setelah lebih dari 50 Tahun bergelut dalam kemunafikan. Disatu sisi kita menyatakan beragama namun disisi yang lain kita menolak ajaran agama. (*)
Selaku bangsa yang Berketuhanan Yang Maha Esa, dosa kolektif terbesar yang dilakukan sejak negara ini berdiri adalah penistaan terhadap hukum dan ketentuan Tuhan. Terlepas dari agama apa saja yang kita peluk, tentu agama kita itu memiliki kitab suci yang oleh masing-masing pemeluknya diyakini merupakan wahyu/firman Tuhan yang wajib ditaati sebagai ketentuan hukum tertinggi. Namun kenyataannya semua hukum dari semua agama itu dicampakkan begitu saja.
Sebagai gantinya diterapkanlah hukum buatan manusia yang sudah pasti banyak memiliki kekurangan dan kesalahan. Celakanya lagi hukum tersebut adalah buatan penjajah yang selama ini telah menyiksa dan memperkosa bangsa kita. Orang bodoh (Jahil) saja sudah tentu yakin bahwa hukum yang dibuat penjajah tak bakalan mendatangkan kemaslahatan bagi negeri yang dijajahnya. Maka dengan kesalahan memilih hukum itu terjatuhlah kita semua dalam "ke-jahiliyahan" yang nyata.
Sangat wajar -jika tak mau dikatakan wajib- reaksi keras kalangan tokoh Islam beberapa waktu lalu terhadap penangkapan Panglima Laskar Jihad Ahlus Sunnah Wal Jamaah, Ustadz Djafar Umar Thalib, karena memberlakukan hukuman rajam bagi anggotanya yang melakukan Zina. Penangkapan yang oleh sebagain kalangan masih dikatagorikan 'cacat hukum' ini jelas-jelas menunjukkan kesewenangan penguasa --dalam hal ini Mabes PolRI-- dalam menghalangi umat Islam mengamalkan ajaran agamanya. Bahkan Ketua DPP PAN yang juga Wakil Ketua MPR, AM Fatwa sempat mendesak DPR agar segera memanggil Kapolri guna memberikan keterangan tentang alasan konkrit tentang penangkapan itu. Allhamdulilah kemudian Ustadz Ja'far ternyata bebas.
Kita yang selama ini telah dicekoki paham penyepelean terhadap ketentuan Tuhan (baca: Syariat Agama) telah terpelintir otak dan pemikirannya sehingga tak dapat lagi membuka mata hati untuk bersikap yang semestinya. Ketentuan agama yang sebenarnya dijamin dalam Udang-Undang Negara ini (Pasal 29 UUD 1945) sampai dianggap sedemikian rendah dan hinanya hingga harus dikalahkan oleh hukum pidana yang nota bene adalah produk penjajah Belanda. Itupun sebenarnya masih menjadi perdebatan kaum penganut hukum 'positif' itu sendiri, apakah dapat dikatagorikan sebagai tindak pidana atau tidak.
Menurut Ketua TIM Pembela Djafar Umar Thalib Hartono, dalam wawancara di SCTV pada selasa (8/5), penangkapan Panglima Laskar Jihad tersebut sangat tidak benar. Ia beralasan bahwa substansi alasan penangkapan sangat tidak mengena. Ia berpendapat bahwa aparat jelas-jelas melakukan kesalahan dalam prosedur penangkapan. Ia juga menyatakan bahwa semestinya aparat terlebih dahulu melakukan pemanggilan, atau paling tidak meminta keterangan dari tokoh Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wak Jamaah tersebut. Selain itu ia beranggapan bahwa pelaksanakan hukuman Rajam yang dilakukan atas permintaan sang pelaku Zina sendiri tidak dapat dikatakan sebagai tindakan pidana, mengingat itu adalah dalam rangka pengamalan ajaran agama yang jelas-jelas dilindungi oleh Undang-Undang Negara ini sendiri.
Hartono mencontohkan, jika hal seperti ini dikatakan sebagai pelanggaran pidana, maka seorang penyuluh KB (Keluarga Berencana) pun dapat dituntut hukum karena memnempelkan memperlihatkan, bahkan menyebarkan gambar yang asusila seperti yang dijelaskan dalam pasal 282 KUHP, orang yang melakukan penghitanan (Sunatan) tentu juga bisa pula dituntut melanggar hukum pidana, karena jelas-jelas melakukan penganiayaan. Oleh karena itu ia sangat tidak sependapat jika perbuatan Panglima Laskar Jihad dalam menerapkan hukum razam kepada anak buahnya dianggap melanggar hukum pidana.
Polemik tersebut jelas sangat ironi terjadi di tengah bangsa yang mengaku Berketuhanan Yang Maha Esa, terlebih dengan mayoritas penduduk yang beragama Islam seperti Indonesia ini. Kenyataannya Tuhan masih dinomor seribukan, hingga manusia mengagung-agungkan kemampuannya sendiri dalam mengatur hidup.
Masih kurang cukupkah bencana dan azab yang telah diturunkan Allah kepada bangsa ini, setelah lebih dari 50 Tahun bergelut dalam kemunafikan. Disatu sisi kita menyatakan beragama namun disisi yang lain kita menolak ajaran agama. (*)
Poligami, Kenapa Tidak?
BUDAYA pergaulan bebas yang muncul dari dunia barat sana
sudah mulai merambah ke negara kita. Prostitusipun telah punya wadah 'legal' di
komplek lokalisasi. Di Samarinda saja, sebutlah umpamanya wilayah kilo-10 Loa
Janan, bandang raya Solong, bayur, dan lain sebagainya. Godaan untuk berbuat
maksiat terlalu gencar menghantam kaum lelaki kita.
Pada sebagian wanita ada saja yang merelakan suaminya untuk 'jajan' di luar rumah asalkan sang suami itu tidak kawin lagi.
Sungguh memperihantinkan pemahaman agama kaum wanita yang seperti ini. Hubungan seks dianggapnya sebagai barang yang dengan murahnya diperjual belikan. Apalagi jika si suami juga seorang yang bermental 'hidung belang' klop lah sudah, kompromi berbuat jahat berjalan mulus dengan sponsor utama Iblis laknatullah alaih.
Hingga kini tidak sedikit orang yang menganggap tabu bahkan alergi membicarakan masalah poligami. Bentuk rumah tangga yang dalam Islam dikenal dengan Istilah 'Ta'sddud Az-Zaujat' ini sesungguhnya adalah alternatif paling positif untuk mencegah perbuatan Zina disamping tujuannya yang mulia untuk menolong wanita shalehah yang tidak mampu dan memperbanyak keturunan yang bermutu.
Bahkan kenyataannya, di negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, poligami menjadi pekerjaan terlarang bagi pegawai negeri dengan dikeluarkannya PP 10 tahun 1993 oleh rezim Orde Baru.
Namun toh kenyataannya masih panyak PNS yang melakukan perkawinan secara ilegal (menurut hukum negara) untuk menghindari pemecatan. Akhirnya terbukti PP No. 10 tidak efektif mencegah terjadinya poligamai. Bahkan ada peluang perbuatan merendahkan martabat wanita dengan tidak resminya hubungan nikah yang ada secara hukum formal.
Poligami yang dalam Islam merupakan salah satu bagian dari syari'at memang telah menjadi sesuatu yang di anggap buruk oleh musuh-musuh Islam. Ditimbulkanlah cerita-cerita dan ulasan-ulasan miring yang mendeskriditkan bentuk rumah tangga yang sesungguhnya dihalalkan dan dibolehkan oleh Allah SWT.
Tayangan-tayangan sinetronpun sebagaimana kita lihat sering menampilkan cerita percintaan yang hanya membawa misi pengkultusan cinta, hingga seorang wanita yang dimadu digambarkan sebagai wanita yang sangat sial dan menderita. Sebaliknya budaya selingkuh dipandang sebagai kewajaran yang sudah biasa di jaman moderen ini.
Bagi seorang wanita yang benar-benar shalihah semestinya tidak perlu merasa gelisah atau ragu untuk mengijinkan suaminya melakukan poligami, asalkan 'aturan main' yang dipakai benar-benar sesuai dengan syari'at Islam. Ia berkeyakinan bahwa Allah Maha Tahu, tentunya Dia tak akan membolehkan suatu perbuatan yang menyengsarakan hambanya. Bahkan syari'at Islam diturunkan oleh Allah melalui nabi Muhammad justeru untuk mengangkat harkat dan martabat wanita.
Jika masa sebelum Islam wanita dijadikan barang mainan dan pemuas nafsu semata. Maka kedatangan Islam mengangkat harkat wanita. Wanita diberikan kedudukan yang sah sebagai seorang istri yang diakui eksistensinya oleh syari'at, bukan lagi sebagi selir, gendak ataupun wanita simpanan.
Apalagi di jaman sekarang, saat perbandingan jumlah wanita dan laki-laki sudah semakin jauh, poligami adalah alternatif paling tepat untuk mengurangi tingkat hubungan seks di luar nikah. Menurut data BPS sebagaimana dikutip majalah 'Sabili', di daerah perkotaan perempuan yang belum menikah pada rentang usia 20 hingga 44 tahun ada sekitar 3.447.214 jiwa, sementara yang telah menikah sekitar 10.462.025 orang.
Dari jumlah wanita yang belum menikah tersebut, jika dibandingkan dengan para lelaki yang belum menikah pada rentang usia yang sama (20-44) terdapat selisih sebanyak 1.517.810 jiwa. Hal ini mengakibatkan banyaknya wanita yang telah berusia cukup matang belum mendapat jodoh.
Nah, jika kesenjangan tersebut tidak segera diatasi dapat menimbulkan dampak sosial yang cukup serius. Karenanya tidak ada cara lain kecuali dengan poligami.
Hal ini tentunya bukan memberi peluang kepada para suami untuk kawin seenaknya dengan wanita yang dia kehendaki tanpa memikirkan tanggung jawabnya. Dalam Islam disyaratkan adanya kesanggupan untuk berlaku adil. Yakni dapat menjalankan syari'at agama berkenanan dengan tata aturan poligami itu.
Namun juga bukan berarti keadilan disini sebagai keadilan yang sempurna. Selaku manusia pasti kaum lelaki memiliki keterbatasan. Sebagaimana disebutkan tadi dalah keadilan melaksanakan syariat (dengan semaksimal mungkin).
Jika Allah yang Maha adil, Maha Kuasa, serta Maha Pengasih dan Penyayang saja menghalalkan seorang lelaki untuk melakukan poligami, mengapa sebagian hambanya berani melarangnya? Sebatas manakah kepercayaan kita terhadap kebenaran dan kesempurnaan hukum Allah SWT? (*)
Pada sebagian wanita ada saja yang merelakan suaminya untuk 'jajan' di luar rumah asalkan sang suami itu tidak kawin lagi.
Sungguh memperihantinkan pemahaman agama kaum wanita yang seperti ini. Hubungan seks dianggapnya sebagai barang yang dengan murahnya diperjual belikan. Apalagi jika si suami juga seorang yang bermental 'hidung belang' klop lah sudah, kompromi berbuat jahat berjalan mulus dengan sponsor utama Iblis laknatullah alaih.
Hingga kini tidak sedikit orang yang menganggap tabu bahkan alergi membicarakan masalah poligami. Bentuk rumah tangga yang dalam Islam dikenal dengan Istilah 'Ta'sddud Az-Zaujat' ini sesungguhnya adalah alternatif paling positif untuk mencegah perbuatan Zina disamping tujuannya yang mulia untuk menolong wanita shalehah yang tidak mampu dan memperbanyak keturunan yang bermutu.
Bahkan kenyataannya, di negara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, poligami menjadi pekerjaan terlarang bagi pegawai negeri dengan dikeluarkannya PP 10 tahun 1993 oleh rezim Orde Baru.
Namun toh kenyataannya masih panyak PNS yang melakukan perkawinan secara ilegal (menurut hukum negara) untuk menghindari pemecatan. Akhirnya terbukti PP No. 10 tidak efektif mencegah terjadinya poligamai. Bahkan ada peluang perbuatan merendahkan martabat wanita dengan tidak resminya hubungan nikah yang ada secara hukum formal.
Poligami yang dalam Islam merupakan salah satu bagian dari syari'at memang telah menjadi sesuatu yang di anggap buruk oleh musuh-musuh Islam. Ditimbulkanlah cerita-cerita dan ulasan-ulasan miring yang mendeskriditkan bentuk rumah tangga yang sesungguhnya dihalalkan dan dibolehkan oleh Allah SWT.
Tayangan-tayangan sinetronpun sebagaimana kita lihat sering menampilkan cerita percintaan yang hanya membawa misi pengkultusan cinta, hingga seorang wanita yang dimadu digambarkan sebagai wanita yang sangat sial dan menderita. Sebaliknya budaya selingkuh dipandang sebagai kewajaran yang sudah biasa di jaman moderen ini.
Bagi seorang wanita yang benar-benar shalihah semestinya tidak perlu merasa gelisah atau ragu untuk mengijinkan suaminya melakukan poligami, asalkan 'aturan main' yang dipakai benar-benar sesuai dengan syari'at Islam. Ia berkeyakinan bahwa Allah Maha Tahu, tentunya Dia tak akan membolehkan suatu perbuatan yang menyengsarakan hambanya. Bahkan syari'at Islam diturunkan oleh Allah melalui nabi Muhammad justeru untuk mengangkat harkat dan martabat wanita.
Jika masa sebelum Islam wanita dijadikan barang mainan dan pemuas nafsu semata. Maka kedatangan Islam mengangkat harkat wanita. Wanita diberikan kedudukan yang sah sebagai seorang istri yang diakui eksistensinya oleh syari'at, bukan lagi sebagi selir, gendak ataupun wanita simpanan.
Apalagi di jaman sekarang, saat perbandingan jumlah wanita dan laki-laki sudah semakin jauh, poligami adalah alternatif paling tepat untuk mengurangi tingkat hubungan seks di luar nikah. Menurut data BPS sebagaimana dikutip majalah 'Sabili', di daerah perkotaan perempuan yang belum menikah pada rentang usia 20 hingga 44 tahun ada sekitar 3.447.214 jiwa, sementara yang telah menikah sekitar 10.462.025 orang.
Dari jumlah wanita yang belum menikah tersebut, jika dibandingkan dengan para lelaki yang belum menikah pada rentang usia yang sama (20-44) terdapat selisih sebanyak 1.517.810 jiwa. Hal ini mengakibatkan banyaknya wanita yang telah berusia cukup matang belum mendapat jodoh.
Nah, jika kesenjangan tersebut tidak segera diatasi dapat menimbulkan dampak sosial yang cukup serius. Karenanya tidak ada cara lain kecuali dengan poligami.
Hal ini tentunya bukan memberi peluang kepada para suami untuk kawin seenaknya dengan wanita yang dia kehendaki tanpa memikirkan tanggung jawabnya. Dalam Islam disyaratkan adanya kesanggupan untuk berlaku adil. Yakni dapat menjalankan syari'at agama berkenanan dengan tata aturan poligami itu.
Namun juga bukan berarti keadilan disini sebagai keadilan yang sempurna. Selaku manusia pasti kaum lelaki memiliki keterbatasan. Sebagaimana disebutkan tadi dalah keadilan melaksanakan syariat (dengan semaksimal mungkin).
Jika Allah yang Maha adil, Maha Kuasa, serta Maha Pengasih dan Penyayang saja menghalalkan seorang lelaki untuk melakukan poligami, mengapa sebagian hambanya berani melarangnya? Sebatas manakah kepercayaan kita terhadap kebenaran dan kesempurnaan hukum Allah SWT? (*)
Agama dan Ambisi Pribadi
BETAPA keji manusia yang menjadikan agama sebagai alat untuk
meraih kepentingan-kepentingan pribadi. Tak dapat dipungkiri banyak aktivis di
berbagai bidang yang menjadikan label agama guna mempermulus gerakan mencari
keuntungan.
Agama sebagai kebenaran yang hakiki dan esensial, sungguh merupakan hal yang paling berharga dalam kehidupan ini. Terlepas dari apa dan siapapun dia --secara mendasar-- akan mengakui bahwa satu-satunya kekuatan yang memiliki legitimasi kuat pada lingkup kejiwaan manusia adalah agama.
Agama mampu menggerakan seluruh komponen kehidupan tanpa mengenal batasan individu, keluarga, suku, bahkan bangsa. Agama adalah pengikat hati antar dan antara manusia. Dan tali aqidah merupakan penghubung paling ekspres atas tiap individu di seluruh permukaan Bumi ini. Mana kala kita sudah diikat oleh aqidah yang sama, perbedaan warna kulit, ras dan bangsa, bahkan letak geografispun solah tertepiskan.
Hal ini disadari betul oleh para petualang. Maka dengan membawa agama dalam segala gerak dan manuvernya, peluang menggerakan orang lain yang tak tahu-menahu pun akan menjadi mudah.
Agama kerap dikorbankan dan dijadikan tumbal keserakahan. Termasuk di dalamnya atribut-atribut yang berhubungan dengan keagamaan kerap dijadikan jalan untuk memperoleh popularitas dan pengakuan.
Sebutlah umpamanya gelar kiyai atau ulama yang merupakan kedudukan terhormat dalam agama, kerap di eksploitasi demi kepentingan politik. Jika sudah atas nama ulama, kiyai, atau ustadz, maka umat akan dengan gampang dimobilisasi dan dikerahkan. Tinggal kini, untuk apa mobilisasi itu. Untuk kemaslahatan atau malah untuk kehancuran.
Simbol-simbol agama adalah jimat yang sangat ampuh untuk mencapai berbagai hajat keduniawian, apalagi jika medan aksi yang menjadi sasaran adalah komunitas religius yang sangat kondusif buat menarik dukungan.
Pertarungan kotor dengan memanfaatkan gelar-gelar terhormat pada dasarnya adalah tindakan munafik yang kronis dan cenderung sangat destruktif. Ia tidak sekedar menghancurkan institusi, namun lebih dalam menusuk kehormatan dan martabat.
Bilamana para petualang politik sudah menunggang agama sebagai pemanis penampilan, tunggulah azab dan bencana yang akan menimpa memporandakan semua cita-cita kotor yang ingin dihantarkan. Kebenaran akan muncul, dan kebohongan akan terkuak. Semua akan diketahui kemurniannya. Sunnatullah akan menunjukkan kebenaran meskipun kebenaran itu dipendam dalam tujuh lapis bumi. Demikian pula ia akan menampakkan keburukan yang meskipun ditutupi dengan dengan tujuh lapis besi yang tebalnya tujuh lapis bumi.
Siapa menjadikan agama sebagai alat kebusukan, laknat Allah akan menimpanya. (*)
Agama sebagai kebenaran yang hakiki dan esensial, sungguh merupakan hal yang paling berharga dalam kehidupan ini. Terlepas dari apa dan siapapun dia --secara mendasar-- akan mengakui bahwa satu-satunya kekuatan yang memiliki legitimasi kuat pada lingkup kejiwaan manusia adalah agama.
Agama mampu menggerakan seluruh komponen kehidupan tanpa mengenal batasan individu, keluarga, suku, bahkan bangsa. Agama adalah pengikat hati antar dan antara manusia. Dan tali aqidah merupakan penghubung paling ekspres atas tiap individu di seluruh permukaan Bumi ini. Mana kala kita sudah diikat oleh aqidah yang sama, perbedaan warna kulit, ras dan bangsa, bahkan letak geografispun solah tertepiskan.
Hal ini disadari betul oleh para petualang. Maka dengan membawa agama dalam segala gerak dan manuvernya, peluang menggerakan orang lain yang tak tahu-menahu pun akan menjadi mudah.
Agama kerap dikorbankan dan dijadikan tumbal keserakahan. Termasuk di dalamnya atribut-atribut yang berhubungan dengan keagamaan kerap dijadikan jalan untuk memperoleh popularitas dan pengakuan.
Sebutlah umpamanya gelar kiyai atau ulama yang merupakan kedudukan terhormat dalam agama, kerap di eksploitasi demi kepentingan politik. Jika sudah atas nama ulama, kiyai, atau ustadz, maka umat akan dengan gampang dimobilisasi dan dikerahkan. Tinggal kini, untuk apa mobilisasi itu. Untuk kemaslahatan atau malah untuk kehancuran.
Simbol-simbol agama adalah jimat yang sangat ampuh untuk mencapai berbagai hajat keduniawian, apalagi jika medan aksi yang menjadi sasaran adalah komunitas religius yang sangat kondusif buat menarik dukungan.
Pertarungan kotor dengan memanfaatkan gelar-gelar terhormat pada dasarnya adalah tindakan munafik yang kronis dan cenderung sangat destruktif. Ia tidak sekedar menghancurkan institusi, namun lebih dalam menusuk kehormatan dan martabat.
Bilamana para petualang politik sudah menunggang agama sebagai pemanis penampilan, tunggulah azab dan bencana yang akan menimpa memporandakan semua cita-cita kotor yang ingin dihantarkan. Kebenaran akan muncul, dan kebohongan akan terkuak. Semua akan diketahui kemurniannya. Sunnatullah akan menunjukkan kebenaran meskipun kebenaran itu dipendam dalam tujuh lapis bumi. Demikian pula ia akan menampakkan keburukan yang meskipun ditutupi dengan dengan tujuh lapis besi yang tebalnya tujuh lapis bumi.
Siapa menjadikan agama sebagai alat kebusukan, laknat Allah akan menimpanya. (*)
Peduli Pada Sesama
SAAT menyaksikan penderitaan orang lain, pernahkah terlintas
di benak kita, seandainya penderitaan tersebut menimpa diri kita.?
Sekarang kita boleh tertawa, makan enak, bercengkrama dengan kerabat dan saudara, bergurau dengan kawan-kawan, bahkan bersenang-senang di tempat hiburan.
Selagi nikmat Allah masih dibebaskan untuk kita gunakan. Selagi panca indera lengkap menempel pada diri. Selagi kesehatan masih bisa diandalkan. Selagi umur masih ada dijatahkan untuk kita. Kita bisa saja berlaku sekehendak kita, memakai atribut-atribut duniawi itu dengan seenaknya.
Tapi ketika satu demi satu nikmat Allah ditanggalkan dari diri kita, mulailah kita menyadari bahwa selaku mahluk semua ada batasnya. Tersentaklah kita karena baru ingat bahwa apa yang ada pada diri kita ini adalah bukan milik kita. Bahkan diri kita ini sendiripun bukanlah milik kita. Diri kita dan segala nikmat yang menempel padanya adalah bagian dari alam yang diciptakan oleh Allah sebagai salah satu tanda kekuasaan-Nya.
Tak bisakah. Selagi nikmat Allah masih diberikan utuh -dan berlebih- pada diri kita. Kita berbagi dengan orang lain yang tidak memilikinya. Kita tanamkan dalam sanubari, bahwa nikmat Allah itu bukan untuk dinikmati sendiri. Selaku khalifah di muka Bumi kita ditugaskan untuk mendistribusikannya kepada mahluk lain.
Yang merasa mampu dan kaya, semestinyalah membagikan sedikit hartanya untuk kaum fakir dan miskin yang lemah tak berdaya. Paling tidak menunaikan zakat sebagai hak kaum dhu'afa yang wajib diberikan.
Empati semestinya dikembangkan sebagai bagian dari moral hidup keseharian. Dengan membiasakan diri merasakan penderitaan orang lain, manusia akan memiliki kepekaan. Ia kan berusaha menjadikan segala kelebihan sebagai sesuatu yang berarti dalam hidupnya. Tak akan disia-siakannya kelebihan itu, sebab ia tahu banyak orang yang memerlukannya.
Tiada orang yang dapat berdiri sendiri memikul beban hidupnya. Keterkaitan selalu mewarnai dinamika hayati yang ada di muka Bumi ini. Bahkan dengan benda mati dan alam sekeliling sekalipun, manusia selalu berinteraksi, membangun sinergi yang tanpa disadari.
Jika kita mau menginsafi ini, niscaya terbukalah pintu kesadaran, meleklah mata hati. Gugur keangkuhan, susut kesombongan, dan eksistensi diri tidak lagi kabur ditutupi kabut nafsu. Ia akan kembali kepada fitrahnya yang memang bersih.
Detik ini, adalah saat paling tepat bagi kita untuk melakukannya. (*)
Sekarang kita boleh tertawa, makan enak, bercengkrama dengan kerabat dan saudara, bergurau dengan kawan-kawan, bahkan bersenang-senang di tempat hiburan.
Selagi nikmat Allah masih dibebaskan untuk kita gunakan. Selagi panca indera lengkap menempel pada diri. Selagi kesehatan masih bisa diandalkan. Selagi umur masih ada dijatahkan untuk kita. Kita bisa saja berlaku sekehendak kita, memakai atribut-atribut duniawi itu dengan seenaknya.
Tapi ketika satu demi satu nikmat Allah ditanggalkan dari diri kita, mulailah kita menyadari bahwa selaku mahluk semua ada batasnya. Tersentaklah kita karena baru ingat bahwa apa yang ada pada diri kita ini adalah bukan milik kita. Bahkan diri kita ini sendiripun bukanlah milik kita. Diri kita dan segala nikmat yang menempel padanya adalah bagian dari alam yang diciptakan oleh Allah sebagai salah satu tanda kekuasaan-Nya.
Tak bisakah. Selagi nikmat Allah masih diberikan utuh -dan berlebih- pada diri kita. Kita berbagi dengan orang lain yang tidak memilikinya. Kita tanamkan dalam sanubari, bahwa nikmat Allah itu bukan untuk dinikmati sendiri. Selaku khalifah di muka Bumi kita ditugaskan untuk mendistribusikannya kepada mahluk lain.
Yang merasa mampu dan kaya, semestinyalah membagikan sedikit hartanya untuk kaum fakir dan miskin yang lemah tak berdaya. Paling tidak menunaikan zakat sebagai hak kaum dhu'afa yang wajib diberikan.
Empati semestinya dikembangkan sebagai bagian dari moral hidup keseharian. Dengan membiasakan diri merasakan penderitaan orang lain, manusia akan memiliki kepekaan. Ia kan berusaha menjadikan segala kelebihan sebagai sesuatu yang berarti dalam hidupnya. Tak akan disia-siakannya kelebihan itu, sebab ia tahu banyak orang yang memerlukannya.
Tiada orang yang dapat berdiri sendiri memikul beban hidupnya. Keterkaitan selalu mewarnai dinamika hayati yang ada di muka Bumi ini. Bahkan dengan benda mati dan alam sekeliling sekalipun, manusia selalu berinteraksi, membangun sinergi yang tanpa disadari.
Jika kita mau menginsafi ini, niscaya terbukalah pintu kesadaran, meleklah mata hati. Gugur keangkuhan, susut kesombongan, dan eksistensi diri tidak lagi kabur ditutupi kabut nafsu. Ia akan kembali kepada fitrahnya yang memang bersih.
Detik ini, adalah saat paling tepat bagi kita untuk melakukannya. (*)
Istiqomah
KEBENARAN dan Kejahatan adalah ibarat cahaya dan kegelapan.
Maka saat kita diharuskan untuk memilih, tak akan ada pilihan ketiga. Kebenaran
adalah tetap kebenaran dan kejahatan adalah tetap kejahatan. Konsekuensi aturan
hidup mengharuskan manusia untuk memilih satu diantara dua alternatif tersebut.
Saat kita berdiri di atas suatu garis yang kita anggap sebagai kebenaran tak akan dikenal kata kompromi untuk bisa menerima sebagian kejahatan dengan alasan toleransi dan perdamaian. Sebab semenjak Adam diciptakan kebenaran dan kejahatan adalah dua kutub yang pasti bertentangan bahkan harus selalu dipertentangkan.
Jelasnya, hanya ada terang dan gelap. Jika kita menganggap 'remang' itu adalah antara gelap dan terang, maka berarti kita telah tertipu, akal kita telah dibelokkan. Remang bukan berarti antara gelap dan terang, justeru remang adalah terang yang terhalang.
Mengapa banyak manusia yang tak pernah konsekuen dengan terang yang sebenarnya sudah menjadi fitrah yang ia miliki sejak terlahir ke dunia fana ini. Bukankah sayang jika fitrah itu lalu pelan namun pasti ditutupi oleh kegelapan hingga akhirnya kepekatanpun tetap dianggap terang.
Tak ingatkah kita, bahwa jika kita berlama-lama di dalam gelap, mata kita akan terus beradaptasi dengan kegelapan itu hingga kita merasa terang meski di dalam kepekatan.
Bila memang terang yang kita pilih, mengapa harus ragu? Toh tidak ada kegelapan yang bisa menjangkau kita selama kita berada ditempat yang dipenuhi cahaya. Namun hati-hati, bila kita berani bermain 'remang' kegelapan akan menelan pelan...pelahingga terdampar di kesesatan. Na'uzu billahi min dzalik' (*)
Saat kita berdiri di atas suatu garis yang kita anggap sebagai kebenaran tak akan dikenal kata kompromi untuk bisa menerima sebagian kejahatan dengan alasan toleransi dan perdamaian. Sebab semenjak Adam diciptakan kebenaran dan kejahatan adalah dua kutub yang pasti bertentangan bahkan harus selalu dipertentangkan.
Jelasnya, hanya ada terang dan gelap. Jika kita menganggap 'remang' itu adalah antara gelap dan terang, maka berarti kita telah tertipu, akal kita telah dibelokkan. Remang bukan berarti antara gelap dan terang, justeru remang adalah terang yang terhalang.
Mengapa banyak manusia yang tak pernah konsekuen dengan terang yang sebenarnya sudah menjadi fitrah yang ia miliki sejak terlahir ke dunia fana ini. Bukankah sayang jika fitrah itu lalu pelan namun pasti ditutupi oleh kegelapan hingga akhirnya kepekatanpun tetap dianggap terang.
Tak ingatkah kita, bahwa jika kita berlama-lama di dalam gelap, mata kita akan terus beradaptasi dengan kegelapan itu hingga kita merasa terang meski di dalam kepekatan.
Bila memang terang yang kita pilih, mengapa harus ragu? Toh tidak ada kegelapan yang bisa menjangkau kita selama kita berada ditempat yang dipenuhi cahaya. Namun hati-hati, bila kita berani bermain 'remang' kegelapan akan menelan pelan...pelahingga terdampar di kesesatan. Na'uzu billahi min dzalik' (*)
Kematian
SELUBUNG roh kita yang bernama tubuh ini terbuat dari sari
pati tanah. Oleh karena itu memang sudah semestinya jika suatu saat dia kembali
menjadi tanah. Tidak ada hak bagi kita untuk menahannya, jika proses itu sudah
dilaksanakan oleh malaikat Izra'il.
Tapi banyak insan yang tak rela menerimanya. Padahal, sungguh seorang manusia tak punya wewenang untuk berlaku seperti itu. Rupanya hati telah lupa tentang siapa diri ini sebenarnya.
Keterlenaan dalam hiruk pikuknya 'Mayapada' telah menyebabkan seseorang tidak ingat lagi eksistensi dirinya. 'Hubbud Dunya' telah mencengkram hati nuraninya, hingga hati nurani itu tunduk dan takluk pada nafsu angkara.
Saat dalam rahim ibunda, kita telah menyetujui kontrak hidup yang ditawarkan oleh Sang Pencipta. Rezeki, jodoh, dan umur diberi kuota yang jelas dan dicatat dalam buku takdir kita masing-masing. Kita mengikrarkan keimanan tanpa ada keraguan dan penyesalan di dalam hati.
Namun ketika kita terlahir ke alam dunia. Saat keluar dari gerbang kandungan, kitapun terpekik menangis, meronta, menemui dunia baru yang dimasuki dengan penuh ketidak berdayaan.
Sekejap, diri kita segera lupa dengan kesepakatan yang telah dijanjikan. Hawa dunia telah menyedot kesadaran hingga kita mulai menjalani kehidupan dalam ketidak tahuan. Sungguh persatuan dengan jasad yang berupa sari pati tanah ini telah merubah bentuk kita dari hamba yang taat dan patuh menjadi hamba yang berkutat dalam ikhtiar.
Tapi tentunya ikhtiar itu juga bukan sekedar barang yang bebas dipakai semau kita. Ia punya konsekuensi yang harus kita terima dan kita tanggung sebagai sebuah akibat.
Pertambahan usia, pembesaran tubuh/jasad dan pertambahan khazanah pengalaman akhirnya membuat dua dampak yang jelas pada diri. Ada manusia yang seiring bertambah usia, semakin pula konsisten dengan perjanjiannya. Dan ada pula manusia yang semakin berpanjang umur semakin lupa bahkan takabbur.
Mereka yang lupa lantas merasa sayang meninggalkan dunia. Roh mereka tak rela berpisah dengan jasadnya. Ia masih tak sudi meninggalkan kesenangan yang selama ini digeluti dan digumulinya. Sementara jika ia berpisah dengan jasadnya, ia harus memasuki lorong alam barzah yang mengantarkannya ke akhirat, tempat semua kelupaan dan kealfaannya akan dipertanggung jawabkan.
Semoga kita (saya dan pembaca sekalian) termasuk orang yang nantinya menemui kematian dengan senyum dan kerinduan. (*)
Tapi banyak insan yang tak rela menerimanya. Padahal, sungguh seorang manusia tak punya wewenang untuk berlaku seperti itu. Rupanya hati telah lupa tentang siapa diri ini sebenarnya.
Keterlenaan dalam hiruk pikuknya 'Mayapada' telah menyebabkan seseorang tidak ingat lagi eksistensi dirinya. 'Hubbud Dunya' telah mencengkram hati nuraninya, hingga hati nurani itu tunduk dan takluk pada nafsu angkara.
Saat dalam rahim ibunda, kita telah menyetujui kontrak hidup yang ditawarkan oleh Sang Pencipta. Rezeki, jodoh, dan umur diberi kuota yang jelas dan dicatat dalam buku takdir kita masing-masing. Kita mengikrarkan keimanan tanpa ada keraguan dan penyesalan di dalam hati.
Namun ketika kita terlahir ke alam dunia. Saat keluar dari gerbang kandungan, kitapun terpekik menangis, meronta, menemui dunia baru yang dimasuki dengan penuh ketidak berdayaan.
Sekejap, diri kita segera lupa dengan kesepakatan yang telah dijanjikan. Hawa dunia telah menyedot kesadaran hingga kita mulai menjalani kehidupan dalam ketidak tahuan. Sungguh persatuan dengan jasad yang berupa sari pati tanah ini telah merubah bentuk kita dari hamba yang taat dan patuh menjadi hamba yang berkutat dalam ikhtiar.
Tapi tentunya ikhtiar itu juga bukan sekedar barang yang bebas dipakai semau kita. Ia punya konsekuensi yang harus kita terima dan kita tanggung sebagai sebuah akibat.
Pertambahan usia, pembesaran tubuh/jasad dan pertambahan khazanah pengalaman akhirnya membuat dua dampak yang jelas pada diri. Ada manusia yang seiring bertambah usia, semakin pula konsisten dengan perjanjiannya. Dan ada pula manusia yang semakin berpanjang umur semakin lupa bahkan takabbur.
Mereka yang lupa lantas merasa sayang meninggalkan dunia. Roh mereka tak rela berpisah dengan jasadnya. Ia masih tak sudi meninggalkan kesenangan yang selama ini digeluti dan digumulinya. Sementara jika ia berpisah dengan jasadnya, ia harus memasuki lorong alam barzah yang mengantarkannya ke akhirat, tempat semua kelupaan dan kealfaannya akan dipertanggung jawabkan.
Semoga kita (saya dan pembaca sekalian) termasuk orang yang nantinya menemui kematian dengan senyum dan kerinduan. (*)
KONTEMPLASI
Tulisan Khas Abdillah Syafei
Ibu Biadab
BERAPA bayi dibantai. Ada yang dibakar hingga menjadi abu. Ada yang dicekik celana dalam hingga tak bernafas. Bahkan ada yang dibuang dan membusuk di tempat sampah. Siapakah pelakunya? Ternyata adalah ibunya sendiri.
Jika dulu Rasulullah SAW pernah bersabda, bahwa Sorga itu dibawah telapak kaki ibu, bukan berarti sekarang hadits tersebut sudah tidak relevan lagi.
Mungkin sebagian kita bertanya, mungkinkah surga berada dibawah telapak kaki seorang ibu yang membantai anaknya sendiri? Apakah tak lebih pantas, bahwa nerakalah yang ada di setiap inci dari tubuh mereka, tak terkecuali telapak kakinya?
Mungkin itu benar. Tapi benarkah bahwa penderitaan si anak di dunia -dengan terbakar, terbuang dan tercekik lehernya- itu merupakan neraka bagi si anak? Rasanya tidak. Orok-orok yang lahir dari orang tua bejat tersebut, agaknya lebih dicintai dan disayangi sang Khalik hingga sedemikian cepatnya mereka dijemput setelah hanya beberapa detik ikut mencicipi udara dunia. Agaknya Sang Ilahi tak berkenan membiarkan orok-orok itu hidup lebih lama, menyusu pada orang-orang yang bejat dan tak bermoral itu. Dia tak mau si 'bayi suci' lebih lama lagi hidup di lingkungan manusia yang tak mengenal budi.
Surga itu di telapak kaki ibu, tak perlu kita ragukan. Hadis nabi selalu relevan, sebab ia berdasarkan firman yang diwahyukan. Namun rupanya sebagian para ibu sekarang telah menyerahkan surga yang ada di telapak kaki itu seluruhnya untuk sang anak, dan ia sendiri lebih memilih neraka. Bukan karena pengabdian, namun karena lebih mengikuti bisikan syaithan. (*)
BERAPA bayi dibantai. Ada yang dibakar hingga menjadi abu. Ada yang dicekik celana dalam hingga tak bernafas. Bahkan ada yang dibuang dan membusuk di tempat sampah. Siapakah pelakunya? Ternyata adalah ibunya sendiri.
Jika dulu Rasulullah SAW pernah bersabda, bahwa Sorga itu dibawah telapak kaki ibu, bukan berarti sekarang hadits tersebut sudah tidak relevan lagi.
Mungkin sebagian kita bertanya, mungkinkah surga berada dibawah telapak kaki seorang ibu yang membantai anaknya sendiri? Apakah tak lebih pantas, bahwa nerakalah yang ada di setiap inci dari tubuh mereka, tak terkecuali telapak kakinya?
Mungkin itu benar. Tapi benarkah bahwa penderitaan si anak di dunia -dengan terbakar, terbuang dan tercekik lehernya- itu merupakan neraka bagi si anak? Rasanya tidak. Orok-orok yang lahir dari orang tua bejat tersebut, agaknya lebih dicintai dan disayangi sang Khalik hingga sedemikian cepatnya mereka dijemput setelah hanya beberapa detik ikut mencicipi udara dunia. Agaknya Sang Ilahi tak berkenan membiarkan orok-orok itu hidup lebih lama, menyusu pada orang-orang yang bejat dan tak bermoral itu. Dia tak mau si 'bayi suci' lebih lama lagi hidup di lingkungan manusia yang tak mengenal budi.
Surga itu di telapak kaki ibu, tak perlu kita ragukan. Hadis nabi selalu relevan, sebab ia berdasarkan firman yang diwahyukan. Namun rupanya sebagian para ibu sekarang telah menyerahkan surga yang ada di telapak kaki itu seluruhnya untuk sang anak, dan ia sendiri lebih memilih neraka. Bukan karena pengabdian, namun karena lebih mengikuti bisikan syaithan. (*)
Korban AIDS Yang Malang
TUBUHNYA yang hanya tinggal tulang dibalut kulit terbaring
kaku. Sang nyawa telah meninggalkannya, dijemput oleh malaikat Izrail. Entah
apa yang dikatakan dan bagaimana cara 'malakul maut' mencabut nyawanya, hanya
Allah sang pemberi keputusan yang tahu.
Kini tubuh yang dulu sempat menggiurkan hati dan membangkitkan birahi para 'lelaki hidung belang' itu sudah tercampakkan. Tak seorangpun dari sekian banyak langganannya dulu yang masih sudi menjamahnya. Dari tanah ia diciptakan oleh sang Khalik, kini kembalilah ia menjadi tanah. Hanya tinggal kenangan yang menggayuti hati siapa saja yang pernah bergaul dan kenal dengannya meski mungkin hanya lewat berita di media massa.
Kematian yang amat tragis. Sang pengidap AIDS yang sempat menghebohkan itu tutup usia dalam segala kenestapaannya. Jauh berbeda jika dia adalah seorang Muslim yang taat dan dengan suka rela menjalani syari'at. Insya Allah Hukum Razam akan lebih meringankan penderitaannya baik dalam sudut pandang dunia, lebih-lebih dalam konteks akhirat.
Tiada sahabat, keluarga dan sanak saudara yang sudi mengurusnya, diapun teronggok di ruang mayat Rumah Sakit Umum A.Wahab Syahrani Samarinda.
Dan rupanya penderitaannya tak hanya sampai disitu. Belum lagi mempertanggung jawabkan segala perbuatan di alam Kubur dan Akhirat, jasadnyapun masih harus terkatung menunggu prosesi penguburan.
Beruntung pihak Rumah Sakit masih punya kepedulian. Sang mayatpun dikebumikan sesuai aturan agama Islam. Bahkan dengan tulus ikhlas para tenaga perawat 'Ruang Flamboyan" mengadakan sedikit acara, mendo'akan mantan pasien yang sempat membuat hati mereka terenyuh.
Bagaimakah kabarnya arwah sang pengidap AIDS sekarang? Mungkinkah dia tengah mengecap kenikmatan kubur? Atau malah tengah merintih melanjutkan siksaan pedih yang sebelumnya pernah ia terima di dunia, untuk kemudian ia rasakan lagi dalam jerit dan lolong tangis hingga batas waktu yang entah sampai kapan?
Wallahu A'lam (*)
(Mengenang korban AID di RSAWS)
Kini tubuh yang dulu sempat menggiurkan hati dan membangkitkan birahi para 'lelaki hidung belang' itu sudah tercampakkan. Tak seorangpun dari sekian banyak langganannya dulu yang masih sudi menjamahnya. Dari tanah ia diciptakan oleh sang Khalik, kini kembalilah ia menjadi tanah. Hanya tinggal kenangan yang menggayuti hati siapa saja yang pernah bergaul dan kenal dengannya meski mungkin hanya lewat berita di media massa.
Kematian yang amat tragis. Sang pengidap AIDS yang sempat menghebohkan itu tutup usia dalam segala kenestapaannya. Jauh berbeda jika dia adalah seorang Muslim yang taat dan dengan suka rela menjalani syari'at. Insya Allah Hukum Razam akan lebih meringankan penderitaannya baik dalam sudut pandang dunia, lebih-lebih dalam konteks akhirat.
Tiada sahabat, keluarga dan sanak saudara yang sudi mengurusnya, diapun teronggok di ruang mayat Rumah Sakit Umum A.Wahab Syahrani Samarinda.
Dan rupanya penderitaannya tak hanya sampai disitu. Belum lagi mempertanggung jawabkan segala perbuatan di alam Kubur dan Akhirat, jasadnyapun masih harus terkatung menunggu prosesi penguburan.
Beruntung pihak Rumah Sakit masih punya kepedulian. Sang mayatpun dikebumikan sesuai aturan agama Islam. Bahkan dengan tulus ikhlas para tenaga perawat 'Ruang Flamboyan" mengadakan sedikit acara, mendo'akan mantan pasien yang sempat membuat hati mereka terenyuh.
Bagaimakah kabarnya arwah sang pengidap AIDS sekarang? Mungkinkah dia tengah mengecap kenikmatan kubur? Atau malah tengah merintih melanjutkan siksaan pedih yang sebelumnya pernah ia terima di dunia, untuk kemudian ia rasakan lagi dalam jerit dan lolong tangis hingga batas waktu yang entah sampai kapan?
Wallahu A'lam (*)
(Mengenang korban AID di RSAWS)